Jumat, 25 Desember 2009

MENUMBUHKAN KECERDASAN SPIRITUAL DALAM BEKERJA

Sejak kemunculan sosok Ari Ginanjar Agustian (2001) sebagai pembawa panji ESQ (Emotiononal Spiritual Qoutient), pembicaraan dan pelatihan-pelatihan seputar ESQ terhadap para pegawai/karyawan semakin marak dilakukan. Dengan tujuan agar terbentuk para profesional yang tidak hanya bekerja berlandsakan kecerdasan intelektual (Intellegence Qoutient) dan kecerdasan emosional (Emotional Qoutinet) semata tetapi juga kecerdasan spiritual (Spiritual Qoutient). Karena integritas dan loyalitas akan tumbuh hanya dengan membangun kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual pertama kali digagas secara ilmiah oleh Danah Zohar dan Ia Marshal (2000). Menurut pendapatnya SQ merupakan kecerdasan spiritual untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Menurutnya, SQ berfungsi mengefektifkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi (Ari Ginanjar Agustian : 2006).
Sebagai contoh, Zaid sebagai tukang kebersihan di salah satu kantor pemerintah. Tugas rutinnya adalah menyapu dan membersihkan kantor, dan telah bertahan lebih dari sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SD, maka sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Tetapi walaupun begitu dia bekerja dengan begitu giat, dan tidak banyak tuntutan padahal upah yang diterimanya tidak banyak. Pertanyaannya, kenapa dia mampu bertahan dengan pekerjaannya itu? padahal mungkin saja menurut orang lain pekerjaan itu sangat membosankan. Jawabannya, karena dia mempunyai prinsip bekerja adalah “memberi”, bukan untuk siapapun kecuali lebih pada pengabdiannya kepada Allah.
Dalam bahasa Islam, kecerdasan spiritual tidak jauh berbeda dengan niat atau komitmen. Dan ini sudah ditanamkan oleh Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Di dalam salah satu hadisnya yang terkenal Beliau bersabda : “Setiap perbuatan itu tergantung niatnya”. Artinya bahwa nilai setiap bentuk pekerjaan itu tergantung kepada niat-niat pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridho Allah/ibadah) maka iapun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya ingin memperoleh simpati sesama manusia), maka nilai kerjanya setingkat dengan tujuannya itu (Nurcholis Majid : 1999)
Dengan niat dan komitmen yang tinggi, maka kecerdasan spiritual seorang pegawai akan tampak dalam sikap dan perilakunya. Dia akan berkerja dengan sungguh-sungguh, jujur dan amanah dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Sebaliknya, pegawai yang komitmennya rendah, maka kejujuran dan kepercayaannya juga rendah.
Bang Napi bilang : “Ingat ! kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat dari pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan, waspadalah !”. Artinya sesorang yang mempunyai komitmen rendah (imannya tipis), dia akan melakukan apa saja jika ada kesempatan. Sepertinya para pejabat yang baru dilantik, awalnya mereka bersumpah tidak akan berbuat kejahatan (korupsi misalnya) tetapi ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi yang memungkinkan, mereka lupa akan sumpahnya tersebut.
Sebagai seorang pegawai di lingkungan Departemen Agama, penulis tentu tidak asing dengan kalimat “ikhlas beramal” yang ada dalam lambang Departemen Agama. Ini artinya bahwa pegawai Departemen Agama dalam mengabdi kepada masyarakat dan negara berlandaskan niat beribadah dengan tulus ikhlas (KMA No. 58 Tahun 1979).
Di zaman globalisasi seperti sekarang ini, rasanya sulit mencari orang yang berkerja dengan tulus ikhlas. Perkembangan zaman dan persaingan hidup yang semakin ketat, telah merubah ideologi kerja sebagian besar manusia, yang cenderung ke arah materialisme.
Sebagai contoh, setiap ada bantuan, proyek dan sejenisnya, para pejabat/pegawai lebih dahulu memotong untuk bagiannya, sehingga jumlah yang diberikan tidak sesuai dengan jumlah yang dianggarkan. Ini menunjukan bahwa mereka lebih mengedepankan imbalan materi daripada pekerjaannya. Lebih parahnya lagi, mereka tidak akan bekerja kalau tidak mendapat sesuatu materi dari pekerjaannya itu.
Padahal bekerja dengan “ikhlas” dalam pengertiannya yang luas bukan berarti tanpa imbalan atau penghargaan. Justru karena ikhlas itulah, suatu pekerjaan lebih mempunyai makna atau value (SQ), dan nilai suatu pekerjaan tidak hanya bisa diukur dengan materi.
Dampak negatif jika pegawai berkerja tanpa dibarengi kecerdasan spiritualnya. Dari hal-hal kecil seperti berbohong pada atasan sampai praktek-praktek manipulasi akan dilakukannya. Ini melukiskan bahwa masih banyak kejahatan-kejahatan kecil dilakukan apabila memiliki kesempatan dan tidak terlihat oleh orang lain. Mereka umumnya menganggap bahwa hal itu tidak akan diketahui oleh atasan mereka, serta menganggap pelanggaran-pelanggaran etika tersebut ini adalah hal yang biasa. Padahal ini menyangkut sesuatu yang serius, integritas dan kepercayaan.
Begitu juga dengan para pemimpin. Karena umumnya orang melihat pemimpin sebagai sebuah posisi semata. Akibatnya banyak orang menghalalkan berbagai cara hanya demi mengejar jabatan pemimpin. Dari mulai dari membeli kedudukan dengan uang, menjilat atasan, menyikut pesaing atau teman atau cara-cara lainnya demi mengejar posisi pimpinan. Pemimpin dengan hasil seperti ini akan selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat bahkan menguasai orang lain agar orang lain mengikutinya.
Kalau kita mau jujur, sepertinya hal-hal di atas bukan perkara aneh, makanya tidak heran kalau korupsi seolah-olah telah menjadi “lingkaran setan” yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Menanggapi persoalannya yang satu ini, ungkapan-ungkapan bernada pesimistis sering penulis dengar, seperti “sudah ikutin aja” atau “yang lain aja begitu” dan sebagainya. Ini menunjukan bahwa komitmen kita masih rendah.
Akibatnya, walaupun banyak cara telah dilakukan untuk memberantas penyakit yang satu ini, dari mulai penegakan hukum, sampai pada reformasi sistem birokrasi, hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Karena dilakukan hanya sebatas dataran luarnya saja, sedangkan karakter dan orientasi bekerja pata pegawainya kurang mendapat perhatian.
Saat ini, usaha-usaha ke arah sana mulai dilakukan, hal ini dapat dilihat dari maraknya pelatihan-pelatihan atau pembinaan-pembinaan terhadap para pegawai tentang bagaimana menumbuhkan kecerdasan spiritual dalam bekerja. Ini menunjukan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya makna dan nilai dalam bekerja. Nilai suatu pekerjaan tidak bisa diukur dengan berapa banyak uang yang diperokeh dari hasil pekerjaan tersebut tetapi bagaimana pekerjaan itu bisa mendatangkan kebahagian dan ketenangan bagi para pekerjanya.
Departemen Agama sebagai pelopor spiritual qoutient melalui semboyannya “ikhlas beramal”, insyaAllah akan menjadi departemen yang menjadi tauladan bagi departemen-depatermen lainnya. Jika para pegawainya mampu melaksanakan tugas berlandasakan semboyan tersebut.
Krisis multidimensi yang sedang terjadi di tanah air, sedikit demi sedikit akan berkurang jika kita berkerja bukan hanya atas dasar pengetahuan dan ambisi semata tetapi lebih daripada itu adalah membangun dan memaknai pekerjaan itu sebagai ibadah untuk kepentingan umat manusia dan Allah SWT. Apakah kita mampu? Mari kita coba!
Wallahu a’lam

Kuningan, Maret 2007
Penulis

Asep Nurdin

artikel : MENUMBUHKAN KECERDASAN SPIRITUAL DALAM BEKERJA


MENUMBUHKAN  KECERDASAN SPIRITUAL DALAM BEKERJA
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Penyuluh Agama Islam Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan)

Sejak kemunculan sosok Ari Ginanjar Agustian (2001) sebagai pembawa panji ESQ (Emotiononal Spiritual Qoutient), pembicaraan dan pelatihan-pelatihan seputar ESQ terhadap para pegawai/karyawan semakin marak dilakukan. Dengan tujuan agar terbentuk para profesional yang tidak hanya bekerja berlandsakan kecerdasan intelektual (Intellegence Qoutient) dan kecerdasan emosional (Emotional Qoutinet) semata tetapi juga kecerdasan spiritual (Spiritual Qoutient). Karena integritas dan loyalitas akan tumbuh hanya dengan membangun kecerdasan spiritual. 
Kecerdasan spiritual pertama kali digagas secara ilmiah oleh Danah Zohar dan Ia Marshal (2000). Menurut pendapatnya SQ merupakan kecerdasan spiritual untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Menurutnya, SQ berfungsi mengefektifkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi (Ari Ginanjar Agustian : 2006).
Sebagai contoh, Zaid sebagai tukang kebersihan di salah satu kantor pemerintah.  Tugas rutinnya adalah menyapu dan membersihkan kantor, dan telah bertahan lebih dari sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SD, maka sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Tetapi walaupun begitu dia bekerja dengan begitu giat, dan tidak banyak tuntutan padahal upah yang diterimanya tidak banyak. Pertanyaannya, kenapa dia mampu bertahan dengan pekerjaannya itu? padahal mungkin saja menurut orang lain pekerjaan itu sangat membosankan. Jawabannya, karena dia mempunyai prinsip bekerja adalah “memberi”, bukan untuk siapapun kecuali lebih pada pengabdiannya kepada Allah.
Dalam bahasa Islam, kecerdasan spiritual tidak jauh berbeda dengan niat atau komitmen. Dan ini sudah ditanamkan oleh Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Di dalam salah satu hadisnya yang terkenal Beliau bersabda : “Setiap perbuatan itu tergantung niatnya”. Artinya bahwa nilai setiap bentuk pekerjaan itu tergantung kepada niat-niat pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridho Allah/ibadah) maka iapun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya ingin memperoleh simpati sesama manusia), maka nilai kerjanya setingkat  dengan tujuannya itu (Nurcholis Majid : 1999)
Dengan niat dan komitmen yang tinggi, maka kecerdasan spiritual seorang pegawai akan tampak dalam sikap dan perilakunya. Dia akan berkerja dengan sungguh-sungguh, jujur dan amanah dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Sebaliknya, pegawai yang komitmennya rendah, maka kejujuran dan kepercayaannya juga rendah. 
Bang Napi bilang : “Ingat ! kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat dari pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan, waspadalah !”. Artinya sesorang yang mempunyai komitmen rendah (imannya tipis), dia akan  melakukan apa saja jika ada kesempatan. Sepertinya para pejabat yang baru dilantik, awalnya mereka bersumpah tidak akan berbuat kejahatan (korupsi misalnya) tetapi ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi yang memungkinkan, mereka lupa akan sumpahnya tersebut.
Sebagai seorang pegawai di lingkungan Departemen Agama, penulis tentu tidak asing dengan kalimat “ikhlas beramal” yang ada dalam lambang Departemen Agama. Ini artinya bahwa pegawai Departemen Agama dalam mengabdi kepada masyarakat dan negara berlandaskan niat beribadah dengan tulus ikhlas (KMA No. 58 Tahun 1979).
Di zaman globalisasi seperti sekarang ini, rasanya sulit mencari orang yang berkerja dengan tulus ikhlas. Perkembangan zaman dan persaingan hidup yang semakin ketat, telah merubah ideologi kerja sebagian besar manusia, yang cenderung ke arah materialisme.
 Sebagai contoh, setiap ada bantuan, proyek dan sejenisnya, para pejabat/pegawai lebih dahulu memotong untuk bagiannya, sehingga jumlah yang diberikan tidak sesuai dengan jumlah yang dianggarkan. Ini menunjukan bahwa mereka lebih mengedepankan imbalan materi daripada pekerjaannya. Lebih parahnya lagi, mereka tidak akan bekerja kalau tidak mendapat sesuatu materi dari pekerjaannya itu.
Padahal  bekerja dengan “ikhlas” dalam pengertiannya yang luas bukan berarti tanpa imbalan atau penghargaan. Justru karena ikhlas itulah, suatu pekerjaan lebih mempunyai makna atau value (SQ), dan nilai suatu pekerjaan tidak hanya bisa diukur dengan materi.
Dampak negatif jika pegawai berkerja tanpa dibarengi kecerdasan spiritualnya. Dari hal-hal kecil seperti berbohong pada atasan sampai praktek-praktek manipulasi akan dilakukannya. Ini melukiskan bahwa masih banyak kejahatan-kejahatan kecil dilakukan apabila memiliki kesempatan dan tidak terlihat oleh orang lain.  Mereka umumnya menganggap bahwa hal itu tidak akan diketahui oleh atasan mereka, serta menganggap pelanggaran-pelanggaran etika tersebut ini adalah hal yang biasa. Padahal ini menyangkut sesuatu yang serius, integritas dan kepercayaan.
Begitu juga dengan para pemimpin. Karena umumnya orang melihat pemimpin sebagai sebuah posisi semata. Akibatnya banyak orang menghalalkan berbagai cara hanya demi mengejar jabatan pemimpin. Dari mulai dari membeli kedudukan dengan uang, menjilat atasan, menyikut pesaing atau teman atau cara-cara lainnya demi mengejar posisi pimpinan. Pemimpin dengan hasil seperti ini akan selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat bahkan menguasai orang lain agar orang lain mengikutinya.
Kalau kita mau jujur, sepertinya hal-hal di atas bukan perkara aneh, makanya tidak heran kalau korupsi seolah-olah telah menjadi “lingkaran setan” yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Menanggapi persoalannya yang satu ini, ungkapan-ungkapan bernada pesimistis sering penulis dengar, seperti “sudah ikutin aja” atau “yang lain aja begitu” dan sebagainya.  Ini menunjukan bahwa komitmen kita masih rendah.
Akibatnya, walaupun banyak cara telah dilakukan untuk memberantas penyakit yang satu ini, dari mulai penegakan hukum, sampai pada reformasi sistem birokrasi, hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Karena dilakukan hanya sebatas dataran luarnya saja, sedangkan karakter dan orientasi bekerja pata pegawainya kurang mendapat perhatian.
Saat ini, usaha-usaha ke arah sana mulai dilakukan, hal ini dapat dilihat dari maraknya pelatihan-pelatihan atau pembinaan-pembinaan terhadap para pegawai tentang bagaimana menumbuhkan kecerdasan spiritual dalam bekerja. Ini menunjukan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya makna dan nilai dalam bekerja. Nilai suatu pekerjaan tidak bisa diukur dengan berapa banyak uang yang diperokeh dari hasil pekerjaan tersebut tetapi bagaimana pekerjaan itu bisa mendatangkan kebahagian dan ketenangan bagi para pekerjanya.
Departemen Agama sebagai pelopor spiritual qoutient melalui semboyannya “ikhlas beramal”, insyaAllah akan menjadi departemen yang menjadi tauladan bagi departemen-depatermen  lainnya. Jika para pegawainya mampu melaksanakan tugas berlandasakan semboyan tersebut.
Krisis multidimensi yang sedang terjadi di tanah air, sedikit demi sedikit akan berkurang jika kita berkerja bukan hanya atas dasar pengetahuan dan ambisi semata tetapi lebih daripada itu adalah membangun dan memaknai pekerjaan itu sebagai ibadah untuk kepentingan umat manusia dan Allah SWT. Apakah kita mampu? Mari kita coba!
 Wallahu a’lam

Kuningan, Maret 2007
Penulis

Asep Nurdin



foto-foto pelatihan pengurusan jenazah


Penyuluh Agama sekaligus Ketua LP2A Kec. Lebakwangi yang "Melek IT"

Peserta Pelatihan Pengurusan Jenazah
Tingkat Kecamatan Lebakwangi

Ketua dan Wakil Ketua LP2A Kecamatan Lebakwangi
sedang memberikan materi pelatihan pengurusan jenazah

Camat Lebakwangi sedang membuka acara pelatihan
Pembukaan Pelatihan Pengurusan Jenazah Tingkat Kecamatan Lebakwangi (Penais, 9 Dzulhijah 1430 H)

Senin, 07 Desember 2009

artikel : MENUMBUHKAN SEMANGAT DAKWAH BIL-QOLAM

MENUMBUHKAN SEMANGAT DAKWAH BIL-QOLAM
DI KALANGAN UMAT ISLAM

Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Alumni Pontren Darussalam Ciamis/
Penais Kecamatan Lebakwangi Kabupaten Kuningan)

Istilah dakwah bil qolam mungkin tidak sepopuler dengan istilah dakwah bi lisan. Padahal keduanya mempunyai esensi yang sama, yaitu menyeru (berdakwah) umat manusia menuju kebaikan.
Secara istilah, dakwah bil qolam berasal dari dua suku kata, dakwah, artinya ajakan dan qolam, artinya pena atau tulisan. Kata dakwah itu sendiri berasal dari da’a - yad’u - da’watan, artinya seruan, ajakan atau panggilan.  Secara terminoligis dakwah adalah menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam. Sebagaimana firman Allah swt :
“serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (qs. An-nahl : 125).
Adapun kata qolam merujuk kepada firman Allah swt surat al-qolam ayat 1 : “nun, perhatikanlah al-qolam dan apa yang dituliskanny.”. Qolam dalam ayat tersebut diterjemahkan sebagai pena (sebuah alat untuk menulis). Jadi, dakwah bil qolam maksudnya dakwah dengan menggunakan pena, atau tulisan melalui buku, artikel, buletin dan sebagainya. Karena melalui tulisan, dakwah bil qolam ini sering diidentikan dengan dakwah bil kitabah (dakwah melalui tulisan). Perbedaannya untuk yang pertama menunjukan subjek, senjata, atau alat. Adapun yang kedua menunjukan kepada objek, hasil atau produk gagasan.

Peran Strategis Media Informasi
Di era informasi seperti sekarang ini, media massa baik cetak maupun elektronik (internet) mempunyai kedudukan yang sangat penting. Selain sebagai media informasi yang menyuguhkan berbagai informasi dan berita-berita aktual, kehadirannya juga merupakan alat yang strategis untuk membentuk opini publik (public opinion) yang mempengaruhi dan mengendalikan pikiran, sikap dan perilaku manusia. Karena hampir ratusan atau bahkan ribuan orang setiap harinya berinteraksi dengan media massa.
Karena begitu strategisnya, media massa dijadikan sebagai sumber baru kekuasaan karena informasi di tangan banyak orang (the new source of power is information in the hand of many), dan siapa yang menguasai media massa, dialah pengendali dan penguasa dunia. Jalan pikiran dan sikap warga dunia bisa dikendalikannya melalui pembentukan opini publik.
Dalam kenyataan sekarang, arus informasi dunia dikuasai dan dikendalikan oleh the order (orang di luar Islam) yang memandang Islam sebagai musuh besar yang harus dilawan dan dihancurkan. Mereka melakukan “penjajahan” informasi melalui perang pemikiran dan budaya (ghazwul fikri dan tsaqofi), yakni mensosialisasikan nilai-nilai, pemikiran, dan budaya mereka ke dunia Islam, agar pola pikir dan gaya hidup umat Islam cenderung lebih berkiblat ke barat daripada taat pada aturan Islam. Hasilnya, paham-paham seperti materialisme, sekularisme, dan hedonisme telah banyak merasuki pola pikir dan tatanan kehidupan umat Islam saat ini.
Di satu pihak, umat Islam tidak memiliki ghiroh (semangat) untuk menjadikan media massa sebagai sarana strategis dalam memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam. Akibatnya, umat Islam hanya menjadi konsumen dan rebutan media massa lain yang tak jarang membawa informasi yang menyesatkan.
Realitas mengatakan, dari sekian banyak ulama Islam, sedikit sekali yang bergelut dalam dunia dakwah bil qolam. Kebanyakan dari mereka piawai melakukan dakwah dengan cara yang bilisan seperti, ceramah, tabligh, dan khutbah. Namun, tidak piawai menuangkannya dalam sebuah bentuk tulisan  terlebih lagi berusaha untuk mempublikasikannya dalam media massa.
Padahal, kalau melihat sejarah peradaban Islam, banyak ulama salaf yang mengabadikan dan menyebarluaskan pandangan-pandangan keIslamannya melalui tulisan (dakwah bil qolam). Mereka telah melahirkan sejumlah “kitab kuning” yang sampai saat ini masih digunakan sebagai buku teks kaum santri di pondok pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, kemampuan menulis menjadikan seorang imam as-syafi’i bisa mewariskan ilmunya melalui kitab al-um, imam al-asqolani dengan kitabnya al-itqon, imam al-zamakhsary dengan kitab tafsir al-kasysyafnya, begitu juga dengan imam al-ghazali dengan kitabnya ihya ulumuddin, dan masih banyak lagi.
Dari kalangan ulama kontemporer, sebut saja misalnya yusuf qardhawi, muhammad abduh, jamaludin al-afgani. Mereka telah menggelorakan semangat pembaharuan dan kebangkitan Islam melalui dakwah bil qolam. Mereka mengetahui dan menyadari bahwa dakwah bil qolam merupakan sunnah yang harus diikuti dan dilestarikan.  Sebagaimana dicontohkan oleh nabi muhammad saw ketika beliau menulis surat yang berisi ajakan masuk Islam kepada kaisar persia.
Karena perannya sangat penting dan strategis, dakwah bil qolam semestinya menjadi perhatian serius umat Islam saat ini. Para ulama, muballig, ustad harus mampu menuangkan pandangan-pandangan keIslamannya dalam bentuk tulisan, baik dalam buku, koran atau media internet. Hal ini bisa dilakukan tanpa meninggalkan dakwah melalui format lama seperti khutbah, tabligh, ceramah dan dakwah bil hal.
Dakwah melalui tulisan mempunyai keunggulan dibandingkan dakwah dengan bentuk lain. Sebagai ilustrasi, ketika seorang muballig mengadakan pengajian di lapangan terbuka, maka yang dapat mendengarkan “hanya” sekitar 10 ribu orang. Tetapi, jika materi ceramahnya itu ditungankan dalam bentuk tulisan yang dipublikasin dalam media massa, maka materi tersebut dapat dibaca oleh seluruh umat yang ada di pelosok negeri ini, yang jumlahnya berlipat-lipat dari yang hadir di lapangan tadi.
Keunggulan lainnya, sebuah tulisan tidak akan punah dan lekang dari laju zaman dan waktu. Bahkan dengan tulisan, seseorang akan dikenang jasanya, diamalkan filsafahnya, yang semua itu akan menjadi amal jariah yang tidak pahalanya akan terus mengalir meskipun penulisnya sudah meninggal dunia.

Bagaimana memulai dakwah dengan cara tulisan?
Memulai kegiatan dakwah dengan tulisan, adalah dengan cara memulai menulis materi dakwah dalam bentuk naskah. Naskah adalah produk dari kegiatan menulis. Kegiatan menulis itu sendiri, biasanya diawali karena adanya ide atau pikiran. Suatu ide atau pikiran akan muncul karena adanya kegiatan membaca. ”Membaca” dalam arti luas tentunya, bukan ”membaca” teks saja, tetapi ”membaca” (mengamati) lingkungan sekitar.
Membaca dan menulis adalah kegiatan yang saling mendukung satu sama lainnya, ibarat dua sisi keping mata uang logam. Sehingga, untuk dapat menumbuhkan hasrat untuk menulis, harus diawali dengan menumbuhkan semangat membaca. Karena, tanpa adanya kegiatan membaca, ide atau pikiran yang akan dituangkan dalam tulisan pun tidak akan muncul.
Berikut ini adalah tips menumbuhkan semangat menulis materi dakwah yang bersumber dari berbagai tulisan.
Pertama, tulis apa yang kita ingat, baik yang pernah kita sampaikan dalam ceramah, ataupun yang kita ingat dari apa yang pernah kita baca. Jangan takut salah menulis. Bermutu ataupun tidak hasil tulisan tersebut, yang penting ”menulis” dulu, makin sering menulis, Insya Allah, tulisan kita akan berkembang menuju perubahan yang lebih baik. Karena,  banyak para penulis besar yang lahir dari pengalaman menulis secara otodidak bukan dari belajar ”ilmu menulis”.
Kedua, tulislah materi dakwah dengan gaya bahasa yang kita miliki. Kalau kebetulan kita seorang penyuluh agama atau muballigh yang sering berceramah dengan sedikit humor, maka tulislah materi ceramah tersebut sesuai gaya ceramah kita. Inilah yang dalam bahasa penulisan, diistilahkan dengan gaya penyampaian. Gaya penyampaian ini, antara penulis yang satu dengan yang lainnya tidak sama, karena tidak ada satu pun gaya penyampaian yang baku.
Ketiga, sebarkan  tulisan kita kepada orang-orang dekat dan dalam bentuk naskah yang paling sederhana terlebih dahulu. Seperti, naskah teks khutbah atau buletin dakwah sederhana yang di fotocopy dan disebarkan secara terbatas. Insya Allah, dibaca atau tidak naskah tersebut oleh orang yang kita beri, kita telah mendapat poin lebih (pahala) atas usaha dakwah yang kita lakukan. Lambat laun, usaha kita tentu saja akan berhasil, dengan syarat tetap istiqomah.
Sebagai penutup dari tulisan ini, marilah kita memulai menumbuhkan semangat dakwah bil qolam dalam diri kita masing-masing, terlebih lagi bagi seorang Penyuluh Agama Islam. Begitu strategisnya peran media massa, harus kita jadikan motivasi untuk siap menuangkan materi dakwah kita dalam bentuk tulisan, agar umat Islam, tidak selamanya menjadi konsumen, tetapi harus menjadi produsen media informasi. Wallahu a’lam.

Kuningan, 5 november 2009
Penulis,

Asep nurdin
               



artikel : KAREKTERISTIK PAHLAWAN DALAM PANDANGAN ISLAM

KAREKTERISTIK PAHLAWAN DALAM PANDANGAN ISLAM
(Penais Kecamatan Lebakwangi Kabupaten Kuningan/Alumnus Pontren Darussalam Ciamis)

Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, dan Pattimura adalah nama-nama yang sudah tidak asing lagi di telinga rakyat Indonesia. Mendengar nama-namanya, pikiran kita langsung terkenang pada perjuangan mereka dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan. Kemerdekaan yang dirasakan bangsa ini adalah buah dari perjuangan gigih mereka. Maka pantas bagi mereka menjadi sosok para pahlawan bangsa.
Memberinya status pahlawan bagi para pejuang bangsa, tentu saja bukan keinginan dan tujuan mereka. Tapi keinginan bangsa ini, dalam upaya mengenang dan berterima kasih kepada para pejuang bangsa. Ini menandakan bangsa ini tidak lupa kacang akan kulitnya. Selain itu, setiap tanggal 10 November, bangsa ini memperingatinya sebagai hari pahlawan nasional untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa. Walaupun yang kita rasakan, mutu peringatan itu menurun dari tahun ke tahun. Kita sudah makin tidak menghayati makna hari pahlawan. Peringatan yang kita lakukan hanya sebatas mengenang kisah perjuangan pahlawan. Padahal yang jauh lebih penting adalah bagaimana kisah perjuangan dan karakter para pahlawan menjadi tauladan dan sumber inspirasi generasi berikutnya.

Karakter Pahlawan Menurut al-Qur’an
Kata pahlawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Dengan merujuk kata pahlawan yang tercatat dalam KBBI, menjadi pahlawan adalah hal yang memungkinkan bagi setiap orang, bahkan buruh tani sekalipun bisa menjadi pahlawan.
Namun di sisi lain, status kepahlawanan seseorang tergantung dari sudut pandang suatu komunitas terhadap sosok tersebut. Seseorang dipandang sebagai pahlawan oleh suatu komunitas, tetapi komunitas lainnya memandang orang tersebut sebagai pengkhianat atau pemberontak. Misalnya sosok Pangeran Diponegoro. Dalam tinjauan bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro adalah seorang pahlawan dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan nusantara. Sebaliknya, dalam tinjauan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, Pangeran Diponegoro adalah seorang pemberontak, sehingga harus ditumpas.
Dalam pandangan masyarakat Palestina, para aktivis HAMAS di Palestina adalah para pejuang yang memperjuangkan terbebasnya Palestina dari cengkeraman Israel. Sebaliknya, aktivis HAMAS dalam pandangan Israel adalah para teroris yang harus diperangi. Demikianlah, perbedaan sudut pandang dan kepentingan antar komunitas menyebabkan perbedaan penilaian terhadap status seseorang atau suatu kelompok.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dipaparkan karakteristik pahlawan menurut pandangan Islam yang berusmber dari al-Qur’an. Seseorang akan menjadi sosok ”pahlawan” dalam kaca mata Islam apabila telah memenuhi kriteria sesuai dengan al-Qur’an.
Dalam Al Quran, istilah yang digunakan untuk para pembela kebenaran, para kesatria atau pahlawan (dalam istilah sekarang) adalah rajul. Secara bahasa rajul berarti seorang laki-laki. Bentuk ganda (mutsanna) dari rajul adalah rajula-ni, sedang bentuk jamaknya adalah rijal. Para rijal ini ada pada setiap zaman, baik pada setelah Rasulullah Muhammad SAW diutus, maupun pada ummat-ummat terdahulu.
Bila kita mengkaji Al Quran, karakter rijal dapat ditemukan pada beberapa surat dalam Al Quran. Ciri-ciri (karakteristik) para rijal yang disebutkan dalam Al Quran adalah :
1. Menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah (untuk berjihad di jalan Allah).
Allah SWT berfirman: ”Di antara orang-orang mukmin itu ada rijal, yaitu orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)” (QS. Al Ahzab [33]: 23).
2. Mendukung kebenaran, dan berani mengingatkan penguasa tiran.
Allah SWT mengisahkan rijal pada masa Fir’aun melalui firman-Nya : ”Dan seorang rajul yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena Dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta (QS. Al Mu’min [40]: 28).
3. Takut kepada Alloh, dan mengingatkan kaumnya untuk berjihad di jalan Alloh. Alloh SWT mengisahkan rijal pada masa Bani Israil melalui firman-Nya : “Berkatalah rajulani (dua rajul) diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman" (QS. Al Maidah [5]: 23).
4. Para rijal senantiasa mengingat Alloh, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka tidak dilalaikan oleh perniagaan dunia. Alloh SWT berfirman: “ Rijal yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. An Nur [24]: 37).
5. Mensucikan diri dan memakmurkan masjid. Alloh SWT berfirman:
”Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada rijal yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS. At Taubah [9]: 108).
6. Memberikan saran yang baik kepada utusan Alloh demi tegaknya agama Alloh. Alloh SWT mengisahkan kisah seorang rajul di kalangan ummat Nabi Musa melalui firman-Nya: “Dan datanglah seorang rajul dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: "Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu" (QS. Al Qashash [28]: 20).
7. Mengingatkan kaumnya untuk mengikuti agama Alloh. Alloh SWT mengisahkan rijal pada masa Bani Israil melalui firman-Nya: “Dan datanglah dari ujung kota, seorang rajul dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu" (QS. Yasin [36]: 20).

Dengan merujuk karakteristik rijal (pahlawan) dalam Al Quran di atas. Menjadi pahlawan saat sekarang, tidak mesti cakap menggunakan bambu runcing, tombak dan bayonet seperti pahlawan tempo dulu. Karena, musuh yang dihadapi saat ini bukan bala tentara kaum penjajah yang tidak berprikemanusiaan. Tapi, musuh kita saat ini adalah kemiskinan, kebodohan, KKN dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya yang membuat rakyat Indonesia ”terjajah”.
Umat Islam dan Bangsa Indonesia pada umumnya sedang merindukan sosok pahlawan yang tidak lagi berperang dengan bambu runcing. Bukan juga pahlawan yang siap ”mati bunuh diri” hanya demi sebuah ideologi perjuangan. Apalagi pahlawan NATO (no action talk only) yang hanya pintar beretorika, namun nihil dalam tindakan. Akan tetapi, pahlawan yang mempunyai semangat kerja keras (ruhul jihad) untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil, dan Indonesia yang sejahtera (hasanah) lahir dan batin (dunia dan akherat). Wallahu alam. (dari berbagai sumber)

Alamat Pengirim :
Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
d/a. Dusun Puhun RT/RW : 03/03
Desa Cihideunggirang Kec. Cidahu
Kuningan JABAR 45595














Menjadi Pahlawan
Dibutuhkan pahlawan yang berani mengungkap skandal korupsi tanpa tebang pilih dan pilih-pilih buku pada seluruh lapisan birokrasi pemerintah dan peradilan di negeri ini. Dibutuhkan pahlawan yang berani membongkar kecurangan pada setiap proyek pembangunan yang konon selalu di mark up 45 % dari biaya proyek sebenarnya. Dibutuhkan pahlawan antikorupsi, kolusi dan nepotisme. Sudah sewajarnya negara membuka akses- akses supaya pahlawan ini segera muncul bak cendawan di musim hujan. Namun kenyataanya, negara lebih senang membuka nostalgia masa lalu ketika Hari Pahlawan menjelang. Miliaran dana dihabiskan demi menapak tilasi berbagai kisah heroik para pahlawan bangsa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Ya, setiap tahun negeri ini merayakan Hari Pahlawan tanpa visi pahlawan masa kini. Lihatlah para pahlawan masa kini seperti yang disebut di atas tidak pernah mengharapkan penghargaan. Dan banyak dari anak bangsa negeri ini yang seharusnya mendapat predikat pahlawan masa kini, ternyata dipecat dari instansinya, diberangus aktivitas politiknya, dibungkam kritiknya, bahkan ada yang dihabisi akibat keberaniannya mengungkap kebenaran.
Termasuklah para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang berkerja sebagai pembantu, kuli dan buruh di manca negara pantas disematkan lencana pahlawan masa kini. Mereka merupakan pahlawan devisa yang setiap bulan menyetorkan uang miliaran ke dalam kas negara. Ketika pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan kerja, TKI tidak menuntut balik pemerintah dengan aksi jalanan. TKI mencari solusi sendiri dengan berkerja ke luar negeri. Namun lagi-lagi negeri ini tidak peduli dengan pengorbanan pahlawan ini. Selama di negeri orang, pemerintah tidak mampu melakukan negosiasi dengan negara tempat TKI berkerja. Berbagai cerita duka tentang nasib tragis TKI akibat perbuatan sewenang-wenang majikannya sama sekali tidak menantang pemerintah guna campur tangan supaya kejadian yang tidak berprikemanusiaan terhadap TKI terulang lagi. Dipandangan pemerintah, TKI tidak lebih sebagai komoditas ekspor ketimbang dipandang sebagai pahlawan devisa. Jangankan melindungi nasib mereka di luar negeri, ketika pulang ke tanah air, mereka menjadi santapan lezat aparat birokrat dan pihak lain.
Pahlawan Masa Kini
Bangsa Indonesia kaya dengan pahlawan masa lampau, tetapi miskin pahlawan masa kini. Setiap tahun pemerintah tidak pernah kehabisan stok untuk mengangkat tokoh masa lalu menjadi pahlawan nasional, sementara itu tidak satu pun putra bangsa saat ini dilirik untuk dijadikan pahlawan masa kini. Apakah di antara putra bangsa ini tidak ada yang pantas menyandang predikat pahlawan antikorupsi? Apakah tidak ada di antara para TKI yang patut disematkan lencana kepahlawanan? Apakah Munir tidak cocok dianggap sebagai pahlawan kebenaran? Krisis multidimensi yang belum berakhir sebenarnya merupakan lahan subur lahirnya pahlawan masa kini. Pahlawan adalah sosok yang berjuang tanpa pamrih dalam berbagai bidang demi kepentingan banga dan tanah airnya. Memang mengharapkan dari birokrasi dan legislatif kita lahir pahlawan masa kini adalah sesuatu yang mustahil.
Birokrasi dan legislatif dipenuhi orang-orang yang tidak punya semangat berprestasi demi kemajuan bangsa. Kebanyakan para aparat di birokrasi masih beranggapan rakyat bukan untuk dilayani namun dijadikan santapan demi menggemukkan pundi-pundi mereka. Di mata rakyat aparat malah sering diplesetkan menjadi keparat ketimbang abdi rakyat gara-gara ulah oknumnya. Walau begitu, kita optimis di satu waktu nanti akan tampil juga pahlawan yang mampu memotong carut marut lini birokrasi yang memusingkan rakyat, pahlawan yang anti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pahlawan yang selalu menggunakan pedang keadilan tanpa pandang bulu ketika memutuskan perkara, dan pahlawan yang mampu mengeluarkan bangsa ini dari berbagai krisis yang melanda. Kita berharap di masa kepemimpinan SBY, lahir pahlawan-pahlawan masa kini. Kita tunggu saja apa memang ada.
Nasib bangsa ini ditentukan oleh dengus nafas kita sendiri dalam merebut kehidupan yang lebih sempurna. Kita semua pengisi kemerdekaan, berkewajiban bertindak berani tapi terkendali, cepat tetapi tepat, total tetapi tidak brutal, agar menjadi teladan, hingga terpahat di dinding hati para penerus kita di masa depan nanti, sebagai pahlawan sejati.

Hadirin shalat Jumat yang berbahagia,

Pada khutbah ini, khatib telah diminta oleh pihak Dewan Keluarga Masjid (DKM) Universitas Paramadina untuk menyampaikan tema kepahlawanan dalam Islam, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Ini merupakan sebuah tema yang menarik untuk dikaji, mengingat sebagian bangsa kita cenderung mereduksi dan mempersempit makna pahlawan.

Kata pahlawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Dengan merujuk kata pahlawan yang tercatat dalam KBBI, menjadi pahlawan adalah hal yang memungkinkan bagi setiap orang, bahkan tukang sapu di jalan pun adalah seorang pahlawan. Dalam konteks kenegaraan/kebangsaan, seorang pahlawan yang beriman kepada Allah swt yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini di dalam al-Qur’an adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah (fî sabîl-i ‘l-Lâh). Seperti yang tercatat dalam QS al-Baqarah: 154: "Dan janganlah kalian sekali-kali mengatakan bahwa orang-orang yang berjuang (terbunuh) di jalan Allah itu mati melainkan mereka hidup tetapi kita tidak merasakan". Sesungguhnya para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, yang kita tahu maupun yang tidak kita tahu, mereka hidup, hidup di hati kita.

Hadirin sholat Jumat yang berbahagia,

Lantas, apa pelajaran yang dapat kita petik dari para pahlawan bangsa kita. Di sini khatib ingin menyampaikan sebuah cerita. Alkisah, seorang raja Persia yang bernama Kisrâ Anû Syirwân melakukan observasi ke rumah-rumah para penduduk kerajaannya. Ketika ia tiba di satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di halaman rumah tersebut. Sang raja tertawa dan bertanya, "Wahai kakek, kenapa kau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan kau mungkin tahun depan sudah mati dan kau tidak dapat menikmati buah-buahan dari pohon yang telah kau tanam?". Dengan penuh senyum dan optimisme sang kakek menjawab, "Wahai raja, laqad gharas-a man qabla-nâ fa akal-nâ wa naghris-u nahn-u li-ya’kul-a man ba‘da-nâ, orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah-buahan dari pohon tersebut kita nikmati sekarang maka kita menanam kembali pohon yang buah-buahannya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita".

Dari cerita di atas kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kemerdekaan ibarat sebuah pohon yang telah ditanam oleh para pahlawan bangsa ini kendati pun mereka tidak pernah menikmatinya melainkan kenikmatan tersebut kita rasakan sekarang.

Oleh karena itu, hadirin sholat Jumat Universitas Paramadina, khususnya para mahasiswa, mulai saat ini marilah kita bersama-sama berbuat untuk orang lain, orang-orang setelah kita. Marilah kita bersama-sama menanam pohon untuk mereka agar mereka dapat menikmati buah-buahan dari tanaman kita, hasil dari perbuatan kita, karena apa yang kita nikmati saat ini adalah hasil-hasil dari tanaman orang-orang sebelum kita.

Mudah-mudahan khutbah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada allah swt. Wa ‘l-Lâh-u a‘lam-u bi ‘l-shawâb

*Teks khutbah Jumat di Universitas Paramadina. Jakarta, 21 Nopember 2008


Bangsa kita setiap tahun merayakan Hari Pahlawan pada 10 November. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Kita memilih 10 November sebagai Hari Pahlawan karena pada tanggal tersebut 61 tahun silam para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya.
Saat itu kita hanya mempunyai beberapa pucuk senjata api, selebihnya para pejuang menggunakan bambu runcing. Namun para pejuang kita tak pernah gentar untuk melawan penjajah. Kita masih ingat tokoh yang terkenal pada saat perjuangan itu yakni Bung Tomo yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya radionya. Ruslan Abdul Gani yang meninggal beberapa waktu lalu, adalah salah seorang pelaku sejarah waktu itu.
Setiap tahun kita mengenang jasa para pahlawan. Namun terasa, mutu peringatan itu menurun dari tahun ke tahun. Kita sudah makin tidak menghayati makna hari pahlawan. Peringatan yang kita lakukan sekarang cenderung bersifat seremonial. Memang kita tidak ikut mengorbankan nyawa seperti para pejuang di Surabaya pada waktu itu.
Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah kita merayakan Hari Pahlawan setiap 10 November.
Akan tetapi kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan?
Menghadapi situasi seperti sekarang kita berharap muncul banyak pahlawan dalam segala bidang kehidupan. Dalam konteks ini kita dapat mengisi makna Hari Pahlawan yang kita peringati setiap tahun pada 10 November, termasuk pada hari ini. Bangsa ini sedang membutuhkan banyak pahlawan, pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kita mencatat beberapa wilayah Indonesia masih dihantui tindakan teror. Kita membutuhkan orang yang berani untuk menangkap pelakunya. Negeri kita sedang dililit kanker korupsi yang sudah mencapai stadium terakhir. Kita membutuhkan orang-orang berani untuk memberantasnya. Seorang ilmuwan pun bisa menjadi pahlawan dalam bidangnya berkat penemuannya yang dapat menyejahterahkan orang banyak. Seorang petugas pemadam kebakaran yang tewas saat berjuang mematikan api yang sedang membakar rumah penduduk adalah pahlawan juga.
Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan. Karena itu, hari pahlawan tidak hanya pada 10 November, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak dalam perjuangan reformasi sewindu lalu adalah pahlawan, meskipun negara belum menobatkan mereka sebagai pahlawan.
Memang tidak mudah untuk menjadi pahlawan. Mungkin lebih mudah bagi kita menjadi pahlawan bakiak, yaitu suami yang patuh (takut) kepada istrinya. Atau menjadi pahlawan kesiangan, yakni orang yang baru mau bekerja (berjuang) setelah peperangan (masa sulit) berakhir atau orang yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri pejuang.
Hari ini kita merayakan Hari Pahlawan untuk mengenang jasa para pejuang pada masa silam. Kita bertanya pada diri sendiri apakah kita rela mengorbankan diri untuk mengembangkan diri dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar. Itulah pahlawan sekarang.
Sura Pembaruan, Jumat, 10 Nopember 200

artikel : BAHAYA LATEN MATERIALISME

BAHAYA LATEN MATERIALISME
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Penais Kecamatan Lebakwangi Kabupaten Kuningan/Alumni Ponpes Darussalam Ciamis)

            Materialisme dalam pengertiannya yang sederhana adalah suatu paham yang memandang dunia materi sebagai kehidupan yang realistis, sebaliknya alam ukhrawi  merupakan kehidupan maya, khayalan dan tidak realistis. Pengarang buku Islam At The Crossroad menyatakan bahwa materialisme adalah penyembahan terhadap kemajuan materi dan kepercayaan bahwa dalam hidup ini tiada tujuan lain selain membuat hidup semakin lebih mudah dan tidak tergantung dari alam.
Dalam sejarah awal pertumbuhannya, materialisme lahir ketika jiwa-jiwa orang Eropa dalam kondisi yang kosong atau hampa. Dengan kodisi tersebut, sedikit demi sedikit mereka melorot ke faham keduniawian. Para pemikir dan sarjana sosialnya terus maju menyelidiki alam dan sifat kehidupan dengan menggunakan metode yang mereka sebut dengan metode ilmiah. Mereka menolak segala tradisi yang didasarkan pada kepercayaan akan adanya Tuhan. Satu demi satu, mereka tolak segala sesuatu yang bukan benda dan energi dan mereka menolak segala yang tidak bisa ditimbang dan diukur.
Seiring perkembangan jaman, materialisme seolah-olah menyebar dan mendarah daging di kalangan orang-orang Barat. Materilisme ibarat ”virus” yang telah merasuki sendi-sendi kehidupan mereka. Mereka menjalani hidup hanya untuk memperoleh kekuasaan dan kesenangan. Akibatnya, muncul kelompok-kelompok yang saling bermusuhan dan berperang demi untuk memperoleh kekuasaan dan kesenangan.
Dari segi budaya, materialisme menciptakan manusia-manusia yang moralnya terbatas pada masalah kebutuhan praktis belaka, yang ukuran kebaikan dan kejahatan tertingginya adalah keberhasilan materi. Perilaku-perilaku konsumtif, hedonis, dan prestise merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya materialisme ini.
Akibat tak terelakan dari candu materialisme ini, orang-orang Barat mengalami keterpurukan moral dan juga ekonomi, sebagaimana yang terjadi di Amerika saat ini. Menurut para ahli ekonomi, faktor pertama yang menyebabkan terjadinya keterpurukan ekonomi Amerika adalah kredit macet KPR atau Kredit Pemilikan Rumah yang dilakukan oleh masyarakat Amerika. Di mana pihak Bank di Amerika mengeluarkan begitu banyak uang dengan jumlah jutaan atau bahkan milyaran dolar untuk dana KPR, namun uang yang sudah menjadi piutang tersebut tidak kembali karena tidak mampu dibayar alias kredit macet. Akibatnya,  bank dan institusi keuangan terbesar di Amerika bangkrut dan nyaris bangkrut.
Di samping itu, keterpurukan ekonomi Amerika yang berakibat pada keterpurukan ekonomi global (krisis global) tidak bisa lepas dari paham materialisme yang mereka anut. Materialisme yang melahirkan sikap eksploitasi menyebabkan perkembangan ekonomi tanpa batas. Apa yang seharusnya menjadi milik umum, seperti minyak, gas, dan semua bentuk energi telah menjadi milik individu atau perusahaan. Hasilnya sumber daya alam terkikis habis dan menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan

Islam VS Materialisme
             Materialisme memandang kehidupan dunia sebagai kehidupan yang pertama dan yang terakhir, tidak ada kehidupan lagi setelah kehidupan  dunia. Seorang materialist tidak peduli terhadap peningkatan rohani, kesalehan dan persiapan untuk keakhiratan. Yang dipikirkan hanyalah kemajuan materi sebagai modal mencari kesenangan. Ini berbeda sekali dengan ajaran agama Islam. Dalam Islam, di samping adanya kehidupan dunia, juga berkeyakinan adanya kehidupan akhirat. Kehidupan di dunia materi ini hanya bersifat sementara sebagai bekal untuk kehidupan akhirat yang kekal. Artinya, kehidupan di alam akhirat lebih realistis dibandingkan kehidupan di alam dunia. Namun demikian, bukan berarti harus melupakan kehidupan dunia.
Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77, Allah swt berfirman :
”Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”

Dalam konteks yang sama, Rasulullah saw bersabda : ”Yang terbaik di antara kalian bukanlah orang yang beramal untuk dunianya tanpa akhiratnya. Juga bukan orang yang beramal untuk akhiratnya saja dan meninggalkan dunianya. Tetapi yang terbaik di antara kalian adalah orang yang beramal untuk keduanya”.
Dalam menjelaskan ayat dan hadis di atas, Usman Nazati dalam bukunya al-qur’an wal ilmu nafsi (al-Qur’an dan Ilmu jiwa) mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan fisik dan juga spiritual. Oleh karena itu, manusia dalam menjalani kehidupannya harus mampu menserasikan antara keduanya. Ini dilakukan dengan memenuhi berbagai kebutuhan fisik dalam batas-batas yang diperkenankan oleh Allah dan pada saat yang sama dengan memenuhi kebutuhan spiritualnya. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal kerahiban yang menentang pemenuhan sebagian dorongan fisik dan Islam tidak menentang pemenuhan nihilisme mutlak yang mengizinkan pemenuhan sepuas-puasnya dorongan fisik. Yang diserukan Islam adalah penyeimbangan antara dorongan-dorongan tubuh dan jiwa dan pemakaian jalan tengah yang merealisasikan keseimbangan antara aspek-aspek material dan spiritual dalam diri manusia. Sebagaimana tercemin dalam kepribadian Rasulullah saw, di mana pada dirinya terdapat keseimbangan antara kekuatan spiritualnya yang mendalam dan vitalitas fisiknya yang tinggi. Beliau menyembah Allah dalam kekhusyuan dan kebeningan hati yang penuh. Sementara sebagai manusia, beliau juga menikmati kelezatan duniawi dalam batas-batas yang diperkenankan agama.
Perlunya keserasian antara kebutuhan fisik dan spiritual dikarenakan kehidupan dunia sangat erat kaitannya dengan kehidupan akhirat. Dalam hal ini, dunia merupakan mazra’atul akhirat atau ladang untuk akhirat. Apa yang ditanam di dunia akan dipetik hasilnya di akhirat. Yang ditanam tentu saja bukan ibadah mahdhoh semata, tetapi seluruh perbuatan yang menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia dalam segala bidang kehidupan.
Jika ajaran Islam sangat bertolak belakang dengan paham materialisme sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Lalu bagaimana dengan umatnya saat ini?.
 Di zaman modern seperti sekarang ini, umat manusia tidak lagi dihadapkan pada persoalan budayanya sendiri secara terpisah. Tetapi saling berhubungan dan mempengaruhi antara kebudayaan dan masyarakat dari berbagai bangsa di dunia. Sebagai contoh, penggunaan sepenuhnya teknologi di suatu bagian dunia (Barat-red) tidak dapat dibatasi pengaruhnya hanya pada tempat itu sendiri. Tetapi merambah ke seluruh budaya manusia di muka bumi termasuk pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia.
Menurut Nurcholish Madjid, modernitas adalah suatu keharusan sejarah. Tetapi suatu ”keharusan” tidak dengan sendirinya bernilai positif. Salah satu problema yang nampak selalu menyertai modernitas adalah kapitalisme. Dan kapitalisme itu sendiri merupakan kelanjutan dari materialisme, yaitu pandangan hidup yang memberi tempat sangat tinggi kepada kenikmatan lahiriah. Oleh karena itu proses modernisasi khususnya bagi negara-negara berkembang (Indonesia) selalu mengandung pengertian perjuangan mencapai taraf hidup yang lebih tinggi secara material. Apalagi adanya suatu kenyataan yang tak mungkin diingkari bahwa kemakmuran material mempunyai berbagai akibat pada bidang-bidang selain bidang ekonomi. Sehingga kemunduran di bidang ekonomi selalu berakibat kemunduran di bidang lain.
Pola pikir sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya suatu hal yang natural bagi manusia. Karena untuk bertahan hidup (surivive), manusia harus memenuhi kebutuhan fisiknya. Namun akan menjadi ”penyakit” yang sangat berbahaya jika manusia terlalu mendewakan materi dalam meningkatkan taraf hidup duniawinya (materialisme). Pemanasan global yang mengancam manusia saat ini, merupakan bukti nyata betapa serakahnya manusia dalam  mengeksploitasi sumber daya alam yang terbatas demi untuk memenuhi hasratnya yang tidak terbatas.
Menurut Sekjen PBB Ban Ki Moon, paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah ikut mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan. Sumber-sumber alam dijarah kelewat batas sehingga semakin hari kondisi bumi semakin kronis dan mengancam manusia.
Oleh karena itu, betatapun paham materialisme lahir dan tumbuh dari Barat. Bukan berarti masyarakat Indonesia ”kebal” terhadap virus ini. Dengan melihat realitas kehidupan masyarakat kita, mungkin banyak di antara saudara-sadauara kita yang telah terjangkit gejala-gejala penyakit materialisme ini. Disadari atau tidak, materialisme telah mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat kita. Budaya konsumerisme misalnya. Konsumerisme merupakan bagian tak terpisahkan dari materialisme. Konsumerisme adalah budaya pemenuhan segala keinginan diri bukan atas dasar kebutuhan tapi atas dasar gengsi  atau yang lainnya. Budaya ini menghargai orang bukan karena ilmu dan perilakunya tapi karena banyaknya uang yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi. Semakin banyak dan prestitius barang yang dibeli seseorang, semakin akan dihargai. Supaya mendapatkan penghargaan, orang rela membeli barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan atau di luar kemampuannya. Tak heran jika korupsi pun merajalela.
Materialisme jelas-jelas berbahaya. Sebagai seorang muslim, kita wajib menghindarinya agar tercapai kebahagian (hasanah) hidup. ”Kebahagian” adalah kepuasan dan ketentraman lahir-batin, fisik-spiritual dan dunia-akhirat bukan ”kesenangan” yang hanya mengandalkan kepuasan duniawi semata. Jika direnungkan secara luas dan mendalam, nilai-nilai Islam seperti iman, ihsan, ikhlas, tawakkal, qona’ah, syukur dan lain-lain, benar-benar akan menjadi ”obat mujarab” untuk menangkal bahaya laten materialisme yang semakin merajalela. (dari berbagai sumber). Wallahu a’lam

Kuningan, 15 Februari 2009
Penulis,

Asep Nurdin






























Bahwa alam kahirat lebaih realistis dibadnig ala dunia. Jika kalian begitu semangat mencari dalam hal dunia, maka sudahsmesetinya kalian semangat lagi dalam hal ukarowi.kita haru sgiat dalam dalam mencari kegidypan akhirat. Walaupun kita tidak boleh melupakan kehiudpandunia. Tetapi inga kehidupan akherat haru sidhulukan adapun kehidupan dunia kira cari dalam aturan yang uddah ditentkan oleh Allah, jangan samapi gagar-gara dunia kita mengorbankan akidah kiata tauapun megorankan sdaura-saurag kita

Salah satu Indkiasi masukhnya paham materialime di kalangan umst Islam, adalah perkataan yang mungin yang diucapkan leh saduara-sdauara kita ataup oleh kita sendiri tanpa disadari, perkaraan tersebut adalah : ”kita tahu bahwa kita akan menuju akherat tapi realisti dong! Kita kan butuh makan”. Dalam kata-kata seperti ini mengandung makna tersembuyi kira-kira seperti ini : ”kita tahu bahwa para ulama itu berkata bahwa kita akan menuju kampung akherat tapi kampung akhierat itu kan nggak real jadi yang real ajalah, kita hidup di dunia materi dan butuh makan”. Makna tersembuyi ini memang sangat tersembuyi sehingga kita tidak menyadarinya. Kata-kata ini disebarkan oleh para materialist yang kemudian diikuti sadudar-sadauara kita dari kalangan muslim dam mengucakannya tanpa meydarinya makna tersembuyi dalam kata-kata berbahaya ini.
Kepada materislesme bebahaya?

Bahwa alam kahirat lebaih realistis dibadnig ala dunia. Jika kalian begitu semangat mencari dalam hal dunia, maka sudahsmesetinya kalian semangat lagi dalam hal ukarowi.kita haru sgiat dalam dalam mencari kegidypan akhirat. Walaupun kita tidak boleh melupakan kehiudpandunia. Tetapi inga kehidupan akherat haru sidhulukan adapun kehidupan dunia kira cari dalam aturan yang uddah ditentkan oleh Allah, jangan samapi gagar-gara dunia kita mengorbankan akidah kiata tauapun megorankan sdaura-saurag kita. \qs. Al- qaashso 77:

Aya tini bagi orang yang begitu sammabgat mencari khiudpan akhirat hingga mereka hampir-hampir melupakan kehidupan dunia. Kalauun mereka mencari harta mereka mereka mencarinya bukan untuk bermegah-megahan, akan tetapi unuk mendung dakwah nabi saw, lihar abi bakar, usman dsb,

Bukan seprti kita yang begitu smenagat untuk emncari kehiduan dunia sehinggahampir-hampir melupakan akherat, kita mencari harta untuk bermegah-megahan tanpa mau peduli dengan dakwah rasulla. Kehidupan akherat hanya kita cari dengan sahlat, zakat, puasa, naik haji. Sungggguh menyedihkan keadaan kita ini.

artikel : MAKNA DAN HAKIKAT NUZULUL QUR’AN

Karya Ilmiah Populer/Artikel :

MAKNA DAN HAKIKAT NUZULUL QUR’AN
Oleh : Asep Nurdin



Allah swt berfirman : ”Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS.Al-Baqarah : 185)
Menurut ayat di atas, Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran. Setiap tahunnya, di bulan Ramadhan umat Islam memperingatinya dengan satu peringatan yang terkenal dengan istilah “Nuzulul Qur’an”.
Istilah ”“Nuzulul Qur’an”” berasal dari bahasa Arab, terdiri dari dua kata, yaitu ”Nuzul”, yang mempunyai arti ”turun” dan/atau ”maqam yang yang tinggi”  (Q.S.[4]: 105,[2]: 176,[6]: 92) dan ”al-Qur’an”, yakni al-Qur’an (bacaan). Jadi, secara harfiah ”“Nuzulul Qur’an”” artinya turunnya al-Qur’an. Yang menjadi pertanyaannya selanjutnya adalah bagaimana proses turunnya al-Qur’an tersebut ?. Apakah al-Qur’an (kitab yang sering kita baca) turun dari langit begitu saja, seperti air hujan yang turun dari langit atau bagaimana ?.
Menurut al-Raghib, pada dasarnya ”Nuzul” itu mempunyai arti turunnya suatu benda (materi) dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Akan tetapi “Nuzulul Qur’an” tidak berarti demikian. Hal tersebut dikarenakan Allah Swt adalah satu dzat non-materi yang tidak bertempat (tidak terbatasi oleh ruang), karena itu Nuzulul Quran haruslah diartikan dengan makna lain. Makna al-Qur’an itu sendiri menurut ahli tafsir adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad secara mutawatir selama 23 tahun. Begitu juga ahli fiqh mengartikan al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad, menjadi mukjizat Nabi, lafadznya secara mutawatir yang ditulis dalam mushaf al-Quran diawali surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-naas. Dengan demikian makna ”“Nuzulul Qur’an”bukan berarti jatuhnya/turunnya al-Qur’an dari langit ke bumi begitu saja dalam bentuk mushaf yang sering kita baca seperti saat ini. Lalu, bagaimana?
Dalam beberapa ayat al-Qur’an dijelaskan bahwa sebelum al-Qur’an berbentuk menjadi ayat/teks/lapazh dalam mushaf/kitab, eksistensi al-Qur’an telah ada di maqam yang tinggi di sisi Allah swt. Artinya, bahwa al-Qur’an ini mempunyai satu eksistensi yang berada dalam maqam yang tinggi, yang dari sanalah dia diturunkan.
Dalam al-Qur’an surah al-Wâqi’ah, ayat 77-80 tertulis: “Sesungguhnya al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.” Ayat tersebut mengandung makna bahwa al-Qur’an itu ada dan tersimpan di dalam sebuah kitab maknun.
 Di dalam ayat lain tertulis: “Haa Miim. Demi kitab (al-Qur’an) yang jelas. Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (Q.S. az-Zukhruf [43]: 1-4)
Ayat tersebut juga mengandung arti bahwa al-Qur’an Arabi (yang bertuliskan Arab) itu dahulunya di sisi Allah adalah satu eksistensi yang sangat mulia lagi terjaga yang tersimpan dalam Ummul Kitab/Lauh mahfuzh, dan eksistensi mulia tersebut kemudian dijadikan dalam bentuk al-Qur’an Arabi yang kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
 Jadi, al-Qur’an sebelum diturunkan kepada Rasululullah Saw, disimpan di suatu tempat yang bernama Lauh al-Mahfudz (Q.S. Al-Burûj: 21-22). Bukan hanya al-Qur’an, seluruh kejadian yang telah, sedang dan akan terjadi di alam ini pun telah dicatat di tempat tersebut. Tentang Lauh al-Mahfudz, Imam Alusi berkata, ”Kami mempercayainya tanpa harus mencari hakikatnya maupun bagaimana pencatatan didalamnya”. Dari Lauh al-Mahfudz, bagaimanakah perjalan (turunnya) al-Qur'an selanjutnya?
Secara implisit dalam surat al-Baqarah ayat 185, al-Dukhân ayat 3 dan al-Qadar ayat 1 dijelaskan bahwa al-Qur'an turun secara langsung dan utuh pada malam Lailatul Qadar. Turunnya al-Qur’an pada malam tersebut, masih berdasarkan teks ayat di atas, tidak seperti turunnya al-Qur'an kepada Rasulullah Saw. Karena al-Qur'an turun kepada Rasulullah Saw secara berangsur-angsur selama masa kenabian, sedang makna implisit dari ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur'an turun secara langsung dan utuh di suatu tempat. Tempat tersebut terletak di langit dunia yang bernama “Baitul Izzah” sebagaimana riwayat Ibnu Abbas: ”al-Qur'an diturunkan (dari Lauh al-Mahfudz) dalam satu tempo ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur (ke bumi) selama 20 tahun”. (HR. Hakim dan Baihaqy). Ringkasnya, perjalanan al-Qur'an dari Lauh al-Mahfudz tidak langsung ke bumi, melainkan “transit” terlebih dahulu di Baitul Izzah. Demikian pendapat mayoritas ulama tentang proses Nuzûl al-Qur’an. Kendati demikian tidak semua ulama sependapat dengan pendapat di atas.
Imam Zarkasyi mengklasifikasi 3 pendapat ulama tentang proses Nuzûl al-Qur’an sebagai berikut:
1.      Dari Lauh al-Mahfudz, Al-Qur'an turun ke Baitul Izzah pada satu malam Lailatul Qadar secara langsung (munajjam), kemudian turun berangsur-angsur kepada Rasulullah Saw. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama, semisal Imam As-Suyûthî, Thabarî, Qurthubî, Abu Syahbah dll.
2.      Dari Lauh al-Mahfudz, Al-Qur'an turun ke Baitul Izzah selama 20 malam Lailatul Qadar, ada yang berpendapat selama 23 bahkan 25 malam Lailatul Qadar. Pada setiap malam Lailatul Qadar, Allah Swt menurunkan beberapa ayat untuk setahun sampai tiba malam Lailatul Qadar selanjutnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muqatil, Imam Abdullah al-Halimî dan Mawardî.
3.      Al-Qur'an mulai diturunkan –dari Lauh al-Mahfudz-- kepada Rasulullah Saw pada malam Lailatul Qadar tanpa “transit” terlebih dahulu di Baitul Izzah (karena kelompok pendapat ini tidak mengakui adanya Baitul Izzah). Yang termasuk dalam kelompok pendapat ini yaitu Sya’bî, Muhammad Abduh, Rasyid Ridhâ dan Ibnu Asyur.
Terlepas dari perbedaan di atas, mayoritas umat Islam percaya bahwa Allah Swt menurunkan al-Qur’an (kitab samawi yang diturunkan untuk terakhir kalinya) dengan cara menurunkan lafazh dan kalimat-kalimat nafsi dengan gaya bahasa Arab yang kemudian diturunkan ke dalam kalbu Rasulullah Saw. Kemudian dikarenakan pengetahuan Rasulullah Saw terhadap makna dan arti lafazh dan kalimat-kalimat tersebut melalui dalalah i’tibari, maka dengan perantara itulah beliau tahu akan lafazh dan kalimat-kalimat tersebut dan dengan jalan inilah beliau menerima wahyu Ilahi. Setelah itu barulah Rasulullah Saw menyampaikan lafazh dan kalimat-kalimat tersebut dengan lisannya yang suci sesuai dengan lafazh dan kalimat-kalimat dengan arti aslinya. Dan dari sinilah ia disebut dengan Kalam Ilahi dan juga sebagai Mukjizat yang paling besar.
Ringkasnya, bahwa kitab al-Qur’an yang dibaca umat Islam tidak turun begitu saja dari langit, tetapi merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara wahyu, yang diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun.
Adapun tanggal 17 Ramadhan yang selama ini dijadikan sebagai peringatan “Nuzulul Qur’an”, erat kaitannya dengan ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5. Ayat tersebut diturunkan ketika Rasulullah saw berada di Gua Hira’ , yaitu sebuah gua di Jabal Nur, yang terletak kira-kira tiga mil dari kota Mekah. Ini terjadi pada malam Senin, tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari usia Rasulullah 13 tahun sebelum Hijriyah. Bertepatan dengan bulan Juli tahun 610 M. Malam turunnya permulaan al-Quran tersebut terjadi pada ‘lailatul qodar” atau ‘lailatul mubarakah”, yaitu suatu malam kemuliaan penuh dengan keberkahan.
Mengetahui makna dan hakikat “Nuzulul Qur’an” merupakan sebagian hal penting yang harus diketahui umat Islam, agar menambah keteguhan iman kepada kitab Allah SWT berupa al-Qur’an. Tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupan manusia. Persoalan inilah yang menjadi keprihatinan sekaligus perhatian kita bersama, mengingat realitas kehidupan umat Islam (sebagai umat mayoritas di Indonesia) dari hari kehari semakin jauh dari al-Qur’an. Coba kita perhatikan dan buktikan, apakah setiap keluarga muslim menyimpan al-Qur’an di rumahnya?. Diduga jawabannya adalah ”tidak”. Apakah keluarga muslim yang mempunyai kitab al-Qur’an telah mampu membaca kitab suci itu? Diduga jawabannya adalah ”belum”. Apakah setiap muslim yang membaca al-Qur’an mengetahui arti dan makna kandungannya? Jawabannya adalah ”belum”. Apakah setiap muslim yang memahami kandungan al-Qur’an mampu mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam sikap dan perilaku hidupnya?. Sekali lagi jawabannya diduga serupa dengan sebelumnya. 
Merupakan kewajiban setiap orang yang mengaku dirinya muslim untuk senantiasa menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupanya di dunia. Wallahu a’lam. Dari berbagai sumber 

artikel : FAKIR MENJADI KAFIR

FAKIR MENJADI KAFIR
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Penyuluh Agama Islam Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan)

Kata “fakir” dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang dengan sengaja membuat dirinya kekurangan atau orang yang terlalu miskin. Adapun “kafir” artinya orang yang ingkar atau tidak percaya kepada Allah dan Rasulnya. Dengan demikian makna fakir menjadi kafir adalah orang yang dengan sengaja keadaan hidupnya terlalu miskin akan menyebabkan dia menjadi ingkar kepada Allah dan Rasulnya.
Judul di atas tiada lain kutipan dari salah satu Hadis Nabi yang terkenal. Nabi saw pernah berkata bahwa kefaqiran lebih dekat (menyebabkan-pen) kepada kekufuran.  Hadis ini mempunyai makna yang cukup dalam. Terlepas dari konteks aqidah agama, secara umum hadis ini mengandung makna bahwa seseorang yang faqir amat mudah untuk meninggalkan akidahnya apakah pindah ke akidah lain yang dapat memberikan perbaikan hidup ataupun tidak ingin memiliki akidah sama sekali.
Ada pedoman hidup yang klasik dan bagus: “Kenyang dulu baru ber falsafah”. Ini artinya seseorang yang ingin beragama dengan baik, sebaiknya dia mengisi perutnya terlebih dahulu biar kenyang, apabila perutnya kosong, yang terjadi justru sebaliknya, agama akan dicampakkannya begitu saja.
            Dalam konteks sosial, seseorang yang faqir amat mudah melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk melakukan kriminalitas. Bentuk-bentuk kriminalitas seperti pencopetan, pencurian, perampokan, penyalahgunaan narkoba, sampai kepada penjualan ABG (prostitusi) kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang secara ekonomi tidak mampu. Dari fakta-fakta tersebut maka munculah sebuah tesis yang mengatakan bahwa angka krimilitas yang tinggi diakibatkan oleh angka kemiskinan yang tinggi.
Negara kita termasuk dalam jajaran negara berkembang, sebutan halus untuk negara yang miskin. Walaupun sumber daya alam negara ini begitu melimpah, tanah-tanahnya subur saking suburnya tongkat pun bisa jadi tanaman, tetapi semua itu belum mampu membuat rakyatnya sejahtera, tetapi sebaliknya hutang luar negeri yang semakin menumpuk membuat rakyat sengsara menanggung akibatnya. Dengan kondisi seperti ini, makanya tak heran jika kriminilitas tumbuh subur di negeri ini, salah satunya adalah korupsi yang telah merajalela.
            Sepertinya, kebanyakan para pejabat negara ini termasuk orang-orang miskin. Setidaknya miskin hati, betapa tidak, secara materi mereka bergelimang harta tetapi karena mempunyai penyakit sieun teu mahi tetap saja mereka berlomba-lomba menumpuk-numpuk harta dengan cara apapun, termasuk mencuri uang rakyat. Hati mereka faqir, karena faqir itulah mereka cenderung melakukan korupsi (kufur).
Tentang tabiat manusia seperti di atas, telah dilustrasikan oleh Nabi dalam sabdanya : “Seandainya manusia sudah memiliki emas sebesar gunung uhud niscaya dia tetap menginginkan emas sebesar itu lagi, dan apabila ia mendapatkannya ia akan minta lagi, lagi dan lagi” Manusia  seperti ini sering menjadi “hamba” dari hasratnya sendiri, dia selalu berfantasi untuk menjadi kaya dan berkuasa. Sehingga dia hidup dalam ”cara pikir kapitalis” amat rawan dan rapuh untuk tergoda menghancurkan jatidirinya bahkan agamanya.
Hati memegang peranan penting dalam hal ini, hati akan menjadi luas apabila manusia puas terhadap segala nikmat yang telah diterimanya. Tapi sebaliknya hati akan menjadi sempit dan miskin apabila manusia serakah. Keserakahan  mengakibatkan hati menjadi rusak, jasad juga ikut-ikutan rusak. Bahkan sistem nilai yang seharusnya ditaati ikut-ikutan rusak.
Untuk menghindari agar hati tidak rusak, Rasulullah memberikan resep kepada umatnya agar selalu bersikap qona’ah. Qona’ah bukan sekedar merasa puas dengan apa yang dimiliki. Kepuasan yang dimaksud merupakan hasil akhir yang didahului oleh 1). keinginan meraih sesuatu 2). usaha maksimal 3). keberhasilan dalam usaha 4). menyerahkan dengan sukacita apa yang telah diraihnya kepada yang butuh 5). puas terhadap apa yang diterima sebelumnya (Quraish Syihab : 1994).
Mengakhiri tulisan yang singkat ini, sebaiknya kita renungkan salah satu hadis Nabi Saw yang berbunyi : “Bukanlah termasuk kaya orang yang bergelimang harta tetapi kaya adalah kaya diri (hati)”
Wallahu’alam

Kuningan, Maret 2007
Penulis


Asep Nurdin