Minggu, 24 Januari 2010

Retorika Dakwah: Sebuah Pengantar Oleh : DEDE WAHID HASIM,M.Pd.I

Retorika Dakwah: Sebuah Pengantar
Oleh : DEDE WAHID HASIM,M.Pd.I
Retorika (rhetoric) secara harfiyah artinya berpidato atau kepandaian berbicara. Kini lebih dikenal dengan nama Public Speaking.
Dewasa ini retorika cenderung dipahami sebagai “omong kosong” atau “permainan kata-kata” (“words games”), juga bermakna propaganda (memengaruhi atau mengendalikan pemikiran-perilaku orang lain).
Teknik propaganda “Words Games” terdiri dari Name Calling (pemberian julukan buruk, labelling theory), Glittering Generalities (kebalikan dari name calling, yakni penjulukan dengan label asosiatif bercitra baik), dan Eufemism (penghalusan kata untuk menghindari kesan buruk atau menyembunyikan fakta sesungguhnya).

Gaya Bahasa Retorika
1. Metafora (menerangkan sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal dengan mengidentifikasikannya dengan sesuatu yang dapat disadari secara langsung, jelas dan dikenal, tamsil);
2. Monopoli Semantik (penafsir tunggal yang memaksakan kehendak atas teks yang multi-interpretatif);
3. Fantasy Themes (tema-tema yang dimunculkan oleh penggunaan kata/istilah bisa memukau khalayak);
4. Labelling (penjulukan, audiens diarahkan untuk menyalahkan orang lain),
5. Kreasi Citra (mencitrakan positif pada satu pihak, biasanya si subjek yang berbicara);
6. Kata Topeng (kosakata untuk mengaburkan makna harfiahnya/realitas sesungguhnya);
7. Kategorisasi (menyudutkan pihak lain atau skenario menghadapi musuh yang terlalu kuat, dengan memecah-belah kelompok lawan);
8. Gobbledygook (menggunakan kata berbelit-belit, abstrak dan tidak secara langsung menunjuk kepada tema, jawaban normatif);
9. Apostrof (pengalihan amanat dengan menggunakan proses/kondisi/pihak lain yang tidak hadir sebagai kambing hitam yang bertanggung jawab kepada suatu masalah).

Retorika Dakwah
Retorika Dakwah dapat dimaknai sebagai pidato atau ceramah yang berisikan pesan dakwah, yakni ajakan ke jalan Tuhan (sabili rabbi) mengacu pada pengertian dakwah dalam QS. An-Nahl:125:
“Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka secara baik-baik…”
Ayat tersebut juga merupakan acuan bagi pelaksanaan retorika dakwah. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, ayat tersebut menunjukkan, dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang da’i (objek dakwah) dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya dihadapi dengan cara yang berbeda-beda sesuai hadits: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal mereka”.
a. Ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akan mereka.
b. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’idzatul hasanah, dengan ajaran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
c. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat.

Retorika (Dakwah) Islam
Retorika dakwah sendiri berarti berbicara soal ajaran Islam. Dalam hal ini, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya, Retorika Islam (Khalifa, 2004), menyebutkan prinsip-prinsip retorika Islam sebagai berikut:
1. Dakwah Islam adalah kewajiban setiap Muslim.
2. Dakwah Rabbaniyah ke Jalan Allah.
3. Mengajak manusia dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik.
4. Cara hikmah a.l. berbicara kepada seseorang sesuai dengan bahasanya, ramah, memperhatikan tingkatan pekerjaan dan kedudukan, serta gerakan bertahap.

Secara ideal, masih menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, karakteristik retorika Islam a.l.
1. Menyeru kepada spiritual dan tidak meremehkan material.
2. Memikat dengan Idealisme dan Mempedulikan Realita.
3. Mengajak pada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan istirahat dan berhibur.
4. Berorientasi futuristik dan tidak memungkiri masa lalu.
5. Memudahkan dalam berfatwa dan menggembirakan dalam berdakwah.
6. Menolak aksi teror yang terlarang dan mendukung jihad yang disyariatkan.

Oleh ASM. Romli. Makalah pengantar sekalikus pelengkap “Training Retorika Dakwah: Public Speaking untuk Dakwah” yang diselenggarakan Bidang Kajian, Informasi, dan Kemasyarakatan, Pusat Dakwah Islam Jawa Barat (KIK Pusdai Jabar), 12-13 September 2008. Copyrights © ASM. Romli. Referensi : dari berbagai sumber. Bahasan lengkap versi saya tentang Public Speaking tertuang dalam buku “Lincah Menulis Pandai Bicara”, terbitan Nuansa Bandung, e-mail: ynuansa@telkom.net.

AKTUALISASI DIRI DALAM MENGISI KEMERDEKAAN RI DAN MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN

AKTUALISASI DIRI DALAM MENGISI KEMERDEKAAN RI
DAN MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN
Oleh : DEDE WAHID HASIM, S.Ag, M. Pd.I.
(Penyuluh Agama Islam Kec.Cilimus)


Pendahuluan
Kewajiban puasa ini bukan sesuatu yang baru dalam tradisi keagamaan manusia.
Puasa telah Allah wajibkan kepada kaum beragama sebelum datangnya Nabi
Muhammad Saw. Ini jelas terlihat dalam firman Allah berikut :
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah:
183).

Ayat ini menegaskan tujuan final dari disyariatkannya puasa, yakni
tergapainya takwa. Namun, perlu diingat bahwa ketakwaan yang Allah janjikan
itu bukanlah sesuatu yang gratis dan cuma-cuma diberikan kepada siapa saja
yang berpuasa. Manusia-manusia takwa yang akan lahir dari "rahim" Ramadhan
adalah mereka yang lulus dalam ujian-ujian yang berlangsung pada bulan
diklat itu.
Tak heran kiranya jika Rasulullah bersabda :
"Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkn apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan haus" (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah).

Mereka yang berpuasa, namun tidak melakukan pengendapan makna spiritual puasa, akan kehilangan kesempatan untuk meraih kandungan hakiki puasa itu.
Amalan dalam menyambut bulan ramadhan
Lalu apa yang mesti kita lakukan? Beberapa hal berikut ini mungkin akan bisa
membantu menjadikan puasa kita penuh rahmah, berkah, dan bermakna:
Pertama, mempersiapkan persepsi yang benar tentang Ramadhan. Bergairah dan tidaknya seseorang melakukan pekerjaan dan aktivitas, sangat
korelatif dengan sejauh mana persepsi yang dia miliki tentang pekerjaan itu.
Hal ini juga bisa menimpa kita, saat kita tidak memiliki persepsi yang
bernar tentang puasa. Oleh karena itulah, setiap kali Ramadhan menjelang Rasulullah mengumpulkan para sahabatnya untuk memberikan persepsi yang benar tentang Ramadhan itu. Rasulullah bersabda:
"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan. Allah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan doa. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan membanggakan kalian pada para malaikat-Nya. Maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari kalian. Karena orang yang sengsara adalah orang yang tidak mendapat rahmat Allah di bulan ini." (HR. Ath-Thabrani) .

Ini Rasulullah sampaikan agar para sahabat - dan tentu saja kita semua -
bersiap-siap menyambut kedatangan bulan suci ini dengan hati berbunga.
Maka menurut Rasulullah, sungguh tidak beruntung manusia yang melewatkan
Ramadhan ini dengan sia-sia. Berlalu tanpa kenangan dan tanpa makna apa-apa.
Persepsi yang benar akan mendorong kita untuk tidak terjebak dalam
kesia-siaan di bulan Ramadhan. Saat kita tahu bahwa Ramadhan bulan ampunan,
maka kita akan meminta ampunan pada Sang Maha Pengampun. Jika kita tahu
bulan ini bertabur rahmat, kita akan berlomba dengan antusias untuk
menggapainya. Jika pintu surga dibuka, kita akan berlari kencang untuk
memasukinya. Jika pintu neraka ditutup kita tidak akan mau mendekatinya
sehingga dia akan menganga.
Kedua, membekali diri dengan ilmu yang cukup dan memadai. Untuk memasuki puasa, kita harus memiliki ilmu yang cukup tentang puasa itu.
Tentang rukun yang wajib kita lakukan, syarat-syaratnya, hal yang boleh dan
membatalkan, dan apa saja yang dianjurkan. Pengetahuan yang memadai tentang puasa ini akan senantiasa menjadi panduan pada saat kita puasa. Ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan kita untuk meningkatkan kwalitas ketakwaan kita serta akan mampu melahirkan puasa yang berbobot dan berisi. Sebagaimana yang Rasulullah sabdakan:
"Barang siapa yang puasa Ramadhan dan mengetahui rambu-rambunya dan
memperhatikan apa yang semestinya diperhatikan, maka itu akan menjadi
pelebur dosa yang dilakukan sebelumnya." (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi).

Agar puasa kita bertabur rahmat, penuh berkah, dan bermakna, sejak awal kita
harus siap mengisi puasa dari dimensi lahir dan batinnya. Puasa merupakan
"sekolah moralitas dan etika", tempat berlatih orang-orang mukmin. Latihan
bertarung membekap hawa nafsunya, berlatih memompa kesabarannya, berlatih
mengokohkan sikap amanah. Berlatih meningkatkan semangat baja dan kemauan.
Berlatih menjernihkan otak dan akal pikiran.
Puasa akan melahirkan pandangan yang tajam. Sebab, perut yang selalu penuh
makanan akan mematikan pikiran, meluberkan hikmah, dan meloyokan anggota
badan. Puasa melatih kaum muslimin untuk disiplin dan tepat waktu, melahirkan
perasaan kesatuan kaum muslimin, menumbuhkan rasa kasing sayang,
solidaritas, simpati, dan empati terhadap sesama.
Tak kalah pentingnya yang harus kita tekankan dalam puasa adalah dimensi
batinnya. Dimana kita mampu menjadikan anggota badan kita puasa untuk tidak
melakukan hal-hal yang Allah murkai.
Dimensi ini akan dicapai, kala mata kita puasa untuk tidak melihat hal-hal
yang haram, telinga tidak untuk menguping hal-hal yang melalaikan kita dari
Allah, mulut kita puasa untuk tidak mengatakan perkataan dusta dan sia-sia.
Kaki kita tidak melangkah ke tempat-tempat bertabur maksiat dan kekejian,
tangan kita tidak pernah menyentuh harta haram.
Pikiran kita bersih dari sesuatu yang menggelapkan hati. Dalam pikiran dan
hati tidak bersarang ketakaburan, kedengkian, kebencian pada sesama,
angkara, rakus dan tamak serta keangkuhan. Sahabat Rasulullah, Jabir bin Abdullah berkata :
"Jika kamu berpuasa, maka hendaknya puasa pula pendengar dan lisanmu dari dusta dan sosa-dosa. Tinggalkanlah menyakiti tetangga dan hendaknya kamu bersikap tenang pada hari kamu berpuasa. Jangan pula kamu jadikan hari berbukamu (saat tidak berpuasa) sama dengan hari kamu berpuasa."
"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dia mengamalkannya maka Allah tidak menghajatkan dari orang itu untuk tidak makan dan tidak minum." (HR. Bukhari dan Ahmad dan lainnya).



Memperat Ukhuwah sebagai Manifestasi Mengisi Kemerdekaan

Allah swt. menurunkan ayat-ayat-Nya dalam Al-Qur'an untuk dibumikan dan sangat mungkin dibumikan, sebab ayat-ayat Al-Qur'an secara keseluruhan adalah ayat-ayat hidup dan untuk kepentingan makhluk hidup, demi kesejahteraan mereka saat ini dan saat mendatang. Ternyata, dalam sejarah peradaban manusia ukhuwah semacam itu pernah terwujud dan dicatat. Fenomena ukhuwah dalam kehidupan para sahabat Rasulullah saw. pada masa keemasan dan kejayaan umat ini. Ukhuwah mereka ternyata dapat mengguncang mereka yang dicap Allah sebagai musuh-musuh dakwah Islam, baik dari kalangan orang tak beragama maupun dari kalangan umat beragama non muslim sekalipun.
Persaudaraan dan kebersamaan para generasi awal Islam itulah yang pernah membuat para pengkaji Islamologi dan sebagian pemikir Barat tercengang. Saat mereka membaca sejarah Khubaib bin Adi yang tidak rela bebas dari penyiksaan kuffar dan hidup senang, sementara Rasulullah saw. hidup tersiksa dan sengsara, bahkan sekedar terluka. Saat mereka menyimak sejarah seorang sahabat Thalhah yang rela memberikan makanan malamnya yang tersisa diberikan kepada seorang tamu Rasulullah SAW.
Saat mereka saling membahu membangun parit besar dalam rangka mempertahankan diri dan kota Madinah dari serangan pasukan koalisi (ahzab) di tahun ke 5 Hijriyah. Saat mereka hidup berdampingan ibarat saudara kandung, saling memberi dan lapang dada antara kaum muhajirin dan anshar. Ukhuwah yang tak tertandingi dalam perjalanan sejarah manusia sebelum dan sesudah itu. Apa gerangan rahasianya? Simak dan renungkan ayat-ayat suci dalam surat Al-Hujurat: 10, surat Ali Imran ayat 103, surat Al-A'raf, dan surat al-Anfal.
Dalam ayat-ayat tersebut Allah swt. menyatakan, bahwa ukhuwah Islamiah: 1. Didasarkan pada iman yang kokoh (Al-Hujurat: 10) 2. Dilandaskan pada proses ta'liful qulub (keterpautan hati), (Ali Imran: 103) 3. Keterpautan hati bukan semata-mata rekayasa dan upaya manusia, tetapi ia juga merupakan rahmat dan karunia Allah swt. (al-Anfal) 4. Sementara rahmat Allah swt. secara simultan hanya dapat diraih oleh orang-orang yang bertakwa sebenarnya, komitmen kuat dengan ajaran Allah dan memiliki tingkat tawakkal yang tinggi (al-A'raf).
Karenanya, Allah swt. mengawali ayat perintah menegakkan amar makruf nahi munkar dengan perintah beriman, bertakwa haqqa tuqaatihi, dan realisasi keislaman selama hidup (Ali Imran: 102). Selanjutnya, Allah memerintahkan i'tishom (berpegang dalam himpunan dengan tali Allah swt., yakni ajaran-Nya yang lurus), jangan bercerai berai, agar terwujud ta'liful qulub (keterpautan hati) yang diawali dengan kebersihan hati dalam berislam dan berjuang membela Islam, sehingga ukhuwah dapat terjalin di antara kita (Ali Imran: 103).
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ukhuwah akan terjalin di antara orang-orang yang bertakwa dengan sebenar-benar takwa. Sedangkan, takwa merupakan tujuan ibadah shaum selama bulan Ramadhan. Karena itu, bulan Ramadhan hendaknya dijadikan sebagai bulan penempa diri untuk menjadi orang-orang yang siap untuk berukhuwah. Ramadhan dijadikan sebagai peluang mewujudkan masyarakat harmonis, sekaligus sebagai momen menunjukkan jati diri umat yang mencintai integritas bangsa dan negara serta siap menghadapi upaya-upaya disintegtrasi bangsa di negeri yang kita cintai ini.
Peningkatan keimanan di bulan Ramadhan menjadi sangat menentukan tertanamnya prinsip ukhuwah dalam diri setiap muslim. Karena keimanan itulah yang melandasi amal-amal ibadah selama Ramadhan khususnya shaum, agar diterima dan diridhai Allah SWT.
Demikian juga aplikasi keimanan berupa aktivitas-aktivitas ibadah selama Ramadhan, menjadi penentu cita-cita terwujudnya ukhuwah islamiah. Karena, aktifitas ibadah merupakan indikator sikap takwa yang didasarkan keimanan, sekaligus merupakan faktor penyebab turunnya rahmat Allah swt. berupa ta'liful-qulub (keterpautan hati). Ta'liful qulub ini sebagaimana dijelaskan di atas merupakan 'soko guru' bagi ukhuwah islamiah.
Karenanya, berbagai syariat di bulan Ramadhan kebanyakan bernuansa kebersamaan yang merupakan salah satu bentuk dari ukhuwah islamiah. Sebut saja misalnya shalat tarawih berjamaah, shalat shubuh berjamaah, yang dilakukan tidak seperti biasanya dilakukan sebagian umat di luar Ramadhan, mendengarkan kuliah shubuh, ifthar jama'i (buka puasa bersama), makan sahur bersama, i'tikaf dan lainnya.
Demikian pula zakat dan anjuran sedekah di bulan Ramadhan, secara kontekstual memberikan makna yang dalam dari salah satu bentuk ukhuwah islamiah. Karena, sikap kepedulian kepada sesama adalah sikap yang didasarkan pada nilai-nilai kasih sayang dan cinta kepada sesama. Kasih sayang dan cinta merupakan wujud dari persaudaraan.
Refleksi zakat dan sedekah dalam kehidupan sosial adalah hidup sepenanggungan. Tanpa pandang bulu dan tanpa melihat status sosial tertentu, sang muzaki siap hidup bersama sepenanggungan, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Bahu membahu dalam menghadapi masalah hidup.
Si kaya bukan berarti terbebas dari malapetaka dan musibah yang pada saat-saat tertentu memerlukan bantuan si miskin papa. Demikian juga si miskin papa yang taat beragama, di banyak kesempatan memerlukan keberadaan si kaya yang berada di lingkungannya.
Penutup
Ada beberapa saran dalam menjalin ukhuwah sebagai bentuk mengisi kemerdekaan dan menyambut datangnya bulan Ramadhan:
1. Jaga kebersihan hati. Hati adalah panglima bagi sikap dan perilaku setiap orang,, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw. Karenanya, kebersihan hati merupakan faktor utama masuk surga Allah swt. Sebab, hanya orang yang bersih hatinya yang mendapatkan kenikmatan berjumpa dengan Allah swt. kelak di akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya, "Pada hari tidak ada manfaat harta dan anak-anak kecuali ia yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". Bersih dari noda syirik, noda riya, kotoran ghill (kemarahan) dan hasud (dengki).
2. Tingkatkan amal-amal ibadah secara kontinyu.
3. Terlibat dalam kegiatan kajian-kajian keislaman. Pemahaman yang benar dan tepat akan memunculkan saling mencintai dan tumbuh keberanian untuk saling menasehati.
4. Terlibat dengan aktifitas kebersamaan, seperti ifthar jama'i, i'tikaf bersama, kepanitiaan program-program tertentu dan lain-lain.
5. Budayakan musyawarah dengan lingkungan kerja keislaman. "Wa amruhum syuro bainahum."

RAMADHAN DAN KAMOFLASE UMAT

RAMADHAN DAN KAMOFLASE UMAT
Oleh : Hidayat Muttaqin
(Penyuluh Agama Islam Kec. Cibingbin)

Seakan sudah menjadi sebuah kesepakatan umum jika bulan Ramadhan adalah bulan dimana umat Islam harus bersibuk-sibuk ria dalam menyambut dan memeriahkannya dalam berbagai bentuk. Hampir semua aspek terkait kehidupan manusia terutama umat Islam dikaitkan dengan Ramadhan. Betapa tidak, seseorang bisa berbulan-bulan hidup dinegeri orang hanya untuk mencari penghidupan dan untuk kembali pada bulan Ramadhan dengan budaya mudiknya dihari Raya idul fitri untuk berkumpul dengan keluarga, bercengkrama dengan tetangga seraya menikmati hasil jerih payah selama berbulan-bulan, memang terkesan ritualistic. Begitu pula kesibukan terjadi diberbagai tempat seperti pasar yang pada bulan ini omzetnya naik dengan begitu drastis, jalan-jalan penuh dengan orang yang hilir mudik mempersiapkan makanan untuk sekedar berbuka, mal-mal penuh dengan orang-orang yang berbelanja keperluan lebaran, para pekerja, karyawan, pegawai, bisnisman, pengusaha, buruh, petani, nelayan, pedagang, pelajar, mahasiswa dan lain-lain sibuk mengadakan kegiatan buka bersama serta seabrek kemeriahan lain yang semuanya bermuara pada hasrat umat untuk ikut serta mengisi bulan ini dengan berbagai macam ibadah atau hanya sekedar untuk memeriahkannya semata.
Tampak jelas di bulan ini kemeriahan umat dalam beribadah dan peningkatan kegiatan ritual keagamaan yang signifikan. Masjid selalu penuh tatkala malam tiba indikasi umat akan hausnya pahala, kotak amal seakan sesak dengan jejalan sedekah, pengajian dan kultum dimana-mana dengan berbagai tema dan kemasan dalam rangka mengisi hati dengan ilmu dan hikmah, tadarus berkumandang disana-sini melantunkan ayat-ayat suci penyejuk hati, sekolah dan kampus ramai dengan kegiatan pesantren kilatnya, panti asuhan padat dengan kunjungan pihak-pihak yang akan memberi santunan, bakti social terjadi di berbagai tempat. Tidak hanya itu, berbagai media juga turut serta dalam kemeriahan ini. Acara-acara media disulap menjadi begitu Islami, berbagai stasiun televisi berlomba-lomba dengan tayangannya seolah ingin menghipnotis pemirsanya dengan acara-acara Islami yang begitu menarik dengan menayangkan artis dan da’i yang marketable sebagai icon, begitu juga dengan media cetak dengan bahasa-bahasanya yang begitu menggugah seseorang untuk senantiasa beramal shaleh. Selain itu ramadhan mampu mengerem perilaku negatif umat islam sehingga pada bulan ini perilaku dosa dan maksiat baik besar mapun kecil dianggap tabu di bulan ini. Banyak ungkapan larangan seperti : “hei kamu! Ini bulan puasa jangan bohong lho,” atau “tolonglah, inikan bulan puasa, jangan mabok, jangan ini, jangan itu dan lain sebagainya. Meski tak semuanya patuh, tetapi cenderung efektif membendung perilaku negatif.
Entah apa yang menjadi magnet kuat Ramadhan ini, apakah karena memang bulan ini adalah bulan penuh berkah? Bulan dimana umat Islam khususnya berkesempatan mendulang pahala yang amat sangat besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendapatkan ampunan dari berbagai dosa dan kesalahan? Ataukah bulan dimana seseorang bisa mendapatkan simpati dari orang lain, bulan dimana seorang publik figur bisa mendongkrak popularitas, bulan dimana politisi bisa meraih dukungan dan simpati rakyat, bulan dimana para penguasa membangun kredibilitas ataukah bulan dimana para pengusaha dan bisnisman bisa meraup keuntungan materil yang jumlahnya tidak sedikit? Jawabannya tentu saja bisa variatif, tergantung dari niat masing-masing personal.
Tidak keliru memang ketika semua hal di atas terjadi, semua itu semata-mata gambaran dari manifestasi rahmat Allah yang begitu besar dan luas impactnya terhadap umat tidak hanya Islam, tetapi juga umat agama lain turut merasakan akan rahmat Allah pada bulan ini. Akan tetapi sejatinya tidak hanya itu, Ramadhan ridak hanya dipenuhi dengan ritual kegiatan, kesibukan dan kemeriahan yang bersifat verbalistik saja, Ramadhan juga memiliki tujuan tersendiri yang lebih penting dibanding hal-hal di atas yaitu peningkatan kualitas individu terkait keimanan dan ketaqwaan yang sifatnya lebih permanen dan tidak temporal, pemahaman terhadap Islam yang lebih universal juga terwujudnya insan yang berakhlaqul karimah dan matang secara emosional.
Sudahkah hal itu terjadi? Banyak diantara umat Islam yang sudah bertahun-tahun melewati bulan ini akan tetapi tidak ada efek yang positif dan signifikan terhadap kesalehan individu dan sosialnya. Mengapa demikian? Karena selama ini mayoritas umat Islam hanya melakukan kamoflase semata, bulan yang semestinya menjadi bulan pelatihan dan pendidikan mental umat agar benar benar siap jika nantinya akan berhadapan dengan sebelas bulan lainnya, malah menjadi bulan yang menjadi ajang kamoflase mayoritas umat demi keuntungan pragmatis semata. Betapa tidak, pada bulan ini seakan berbagai pihak ingin menunjukkan seolah dirinya soleh dengan mengisi hari-harinya dengan berbagai ritual ibadah. Seseorang melakukan ibadah hanya karena ikut-ikutan dan malu dengan tetangganya, para pengusaha, bisnisman, seniman, politisi gencar melakukan kebaikan demi menuai omzet yang besar, popularitas di depan public. Akan tetapi pasca Ramadhan apa yang terjadi? mayoritas umat kembali ke habitat awalnya, masjid kembali sepi, kotak amal kembali gemerincing, tiada lagi tadarus berkumandang, tiada lagi kultum dan mau’idzah hasanah, tiada lagi kepekaan dalam bentuk sedekah dan santunan, tiada lagi media yang gencar berda’wah, tiada lagi pengusaha, bisnisman, artis, politisi yang hilir mudik mengisi kegiatan dengan berbagai aktivitas social keagamaan dan banyak aspek keagamaan lain yang akhirnya kembali terabaikan dan seakan menjadi tidak penting dilakukan diluar bulan Ramadhan. Perilaku yang semula dianggap tabu kembali marak diluar bulan ramadhan seakan perilaku negatif tersebut legal-legal saja, sungguh ironis.
Sebetulnya apa penyebab disorientasi ramadhan ini? Jawabannya adalah karena adanya pengabaian terhadap nilai-nilai yang telah ditentukan dalam konstitusi Islam baik Al Quran maupun Hadits. Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya “barang siapa beribadah dibulan Ramadhan dengan dasar keimanan dan keikhlasan maka dosa-dosanya akan diampuni, (Al Hadits). Berdasarkan hadits tersebut ternyata disorientasi puasa disebabkan karena minimnya landasan keimanan dan keikhlasan dalam setiap proses ibadah dan apapun kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan. Landasan keimanan dalam arti keyakinan yang teguh disertai harmonisasi hati, ucapan dan tindakan dalam setiap pengamalan ibadah, serta landasan keikhlasan dalam arti menyandarkan setiap amaliah hanya kepada Allah SWT bukan yang lain. Bukan karena tetangga, teman, materi, popularitas dan hal lain yang bisa mengotori murninya hati.
Sebuah keniscayaan jika setiap insan menginginkan peningkatan kualitas hidup dalam berbagai aspek salah satunya keimanan dan ketaqwaan. Oleh karena itu, kesia-siaan tidak boleh terulang kembali, berlalunya ramadhan harus disertai dengan perubahan perilaku dalam berbagai aspek kehidupan yang ditandai dengan amal soleh disebelas bulan lainnya guna menggapai ridho Ilahi. Amiin.

Sabtu, 23 Januari 2010

ILMU TANPA BIMBINGAN MORAL, HANCUR !
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Penyuluh Agama Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan)

Peperangan terjadi lagi, kali ini antara tentara Israel dengan pasukan pejuang Hizbullah Lebanon. Serangan roket telah dilakukan oleh tentara Israel terhadap Lebanon. Akibat serangan tersebut banyak bangunan hancur dan banyak korban yang tak berdosa meninggal dunia. Aksi ini tentu saja membuat berang masyarakat dunia, khususnya masyarakat muslim, mereka rame-rame berdemo menentang peperangan antara Israel dan Lebanon tersebut. Bukan tanpa alasan mereka menentang karena aksi yang dilakukan Israel benar-benar tidak manusiawi. Betapa mudahnya tentara Israel menggunakan roket, senjata atau alat-alat perang lainnya hanya untuk membunuh sesamanya. Mereka telah lupa, untuk apa roket, bom, senjata tersebut dibuat? kenapa semua itu digunakan hanya untuk menghancurkan manusia? bukankah untuk perdamaian? apakah ada yang salah dengan roket, bom dan senjata perang lainnya?
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah (modern) di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi. Namun dalam kenyataannya apakah ilmu selalu merupakan berkah dan kesejahteraan bagi manusia?. Roket, bom atau bahkan nuklir sebagai sebuah produk keilmuan, akhir-akhir ini semakin tidak menguntungkan manusia. Betapa tidak, semakin canggih persenjataan dibuat semakin tak menjadi berkah buat manusia.
Persenjataan adalah sebuah produk dari ilmu. Sedangkan ilmu itu sendiri merupakan hasil karya perorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan dan bermanfaat bagi masyarakat tersebut. Atau dengan perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial. Newton atau Edison contohnya, dia adalah individu yang telah mengubah wajah peradaban melalui ilmunya.
Jelasnya kiranya bahwa seorang yang berilmu atau ilmuwan mempunyai tanggungjawab berat bagi individu dan juga masyarakatnya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat, yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Ilmuwan harus bertanggungjawab agar produk keilmuan sampai dan bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.
Ilmuwan adalah manusia yang cerdas, karena kecerdasannya itulah dia berilmu. Persoalannya, benarkah makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi makin berbudi, atau semakin cerdas maka makin pandai berdusta ?
Tidak bisa dipungkiri, dalam tahap perkembangannya, ilmu telah banyak disalahgunakan oleh ilmuwannya sendiri. Mereka menciptakan ilmu bukan untuk kesejahteraan manusia bahkan sebaliknya ilmu diciptakan untuk memerangi dan menguasai manusia. Sebagai contoh, banyak ekonom (ilmuwan dalam bidang ekonomi) yang menggunakan ilmu ekonominya bukan untuk kesejahteraan manusia, politikus yang menggunakan ilmu politiknya bukan untuk kemakmuran manusia, hakim yang menggunakan ilmu hukumnya bukan untuk keadilan manusia, agamawan yang menggunakan ilmu agamanya bukan untuk kerukunan dan kedamaian manusia dan masih banyak lagi.
Sudah sejak awal al-Qur’an menyintir dan memperingatkan manusia mengenai masalah ini. Ketika Allah SWT menciptakan Adam a.s, Ia memberinya ilmu. Bahkan dengan ilmu, manusia diakui eksistensinya (existence). Apabila manusia hanya memiliki wujud dan tidak memiliki ilmu, ia akan sedikit memiliki arti. Selanjutnya al-Qur’an menjelaskan ketika Allah menciptakan Adam, ia memberitahu Malaikat. Mereka mengatakan, “mengapa Engkau akan menciptakan makhluk di bumi yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah? sedangkan kami di sini memuji kesucian-Mu dan memuji keagungan-Mu”. Dalam jawabannya Allah tidak menyangkal sangkaan yang ditujukan kepada Malaikat tetapi hanya mengatakan: “Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui”.
Kemudian setelah menciptakan Adam, Allah mempertemukan mereka (para malaikat dan Adam). Kemudian Ia bertanya kepada malaikat: “beritahu aku nama benda-benda ini?”. Malaikat menjawab: “Allahu akbar kami tidak tahu kami hanya mengetahui apa yang sudah engkau beritahukan kepada kami, kami tidak mengetahui selain itu.” Tetapi Adam yang telah diberi oleh Allah kemampuan untuk menguasai pengetahuan dapat menunjukan nama benda-benda itu. Jadi manusia mempunyai kapasitas besar untuk menguasai ilmu. Sementara malaikat atau makhluk lain tidak mempunyai kemampuan itu.
Ada sisi lain dari gambaran di atas. Disebabkan oleh kemampuan akal, manusia dapat menyingkap pengetahuan dan karena pengetahuanya itu manusia memiliki rasa tanggungjawab (sense of responsibility). Jika anak kecil diberikan sebuah pedang, mungkin dia akan mencelakakan dirinya, kecuali jika ia memiliki rasa tanggungjawab yang dapat mengontrol dirinya. Manusia dengan kecakapan kognitifnya yang besar mampu mengungkap pengetahuan tapi biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang tanggungjawab moral. Inilah yang disinggung oleh Allah dalam akhir surat Al-Ahzab : “Kami tawarkan amanat Kami kepada langit dan bumi dan gunung-gunung (seluruh makhluk), tetapi mereka enggan membawanya dan khawatir mengkhianatinya dan manusia membawanya. Sesungguhnya manusia itu zalim dan amat bodoh” (QS.33:72).
Kesenjangan antara kekuatan pengetahuan manusia dan ketidakmampuannya memikul tanggungjawab moral yang timbul dari pengetahuan, menjadikan ilmu tidak lagi mambawa kesejahteraan bagi manusia. Bukan karena ada masalah dalam ilmu pengetahuan, tapi manusia telah menyalahgunakan ilmu pengetahuan.
Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan para Saintis Barat. Namun sebelum mereka berpikir untuk membuat listrik dari penemuan itu atau memanfaatkannya untuk hal-hal yang menguntungkan, mereka menciptakan bom atom. Sekarang setelah pembuatan dan penumpukan bom, mereka malah menggunakannya untuk sesuatu yang merugikan manusia.
Apapun bentuknya, ilmu adalah baik dan membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Bahkan sesuatu seperti sihir, disebut pula ilmu. Apapun yang mengekspos sesuatu yang baru pada pikiran adalah ilmu. Ilmu tidaklah buruk tapi penyalahgunaannya yang buruk.
Kuningan, 1 Agustus 2006
Penulis,


Asep Nurdin, S.Th., M.Pd

SEBUAH KOMITMEN

SEBUAH KOMITMEN
(Hasan Al-Bashri)

Aku tahu rezkiku tak mungkin diambil orang lain
Makanya aku tenang

Aku tahu, amal-amalku tak mungkin dilakukan orang lain
Maka, aku sibukan diriku dengan bekerja dan beramal

Aku tahu Allah selalu melihatku
Karenanya, aku malu bila Allah mendapatiku melakukan maksiat

Aku tahu, kematian menantiku
Maka, kusiapkan bekal untuk berjumpa dengan Rabb-ku

DALIH-DALIH SEORANG PEMIMPIN

DALIH-DALIH SEORANG PEMIMPIN

Kalau pekerjaanku lama selesainya, katanya aku lamban
Kalau atasanku kerjanya lama, katanya teliti
Kalau aku melalaikan pekerjaan, katanya aku lamban
Kalau atasanku lalai, katanya aku sibuk
Kalau aku mengerjakan yang sama, katanya aku sok tahu
Kalau atasanku atasanku mengerjakan hal yang sama, katanya inisiatif
Kalau aku menyenangkan atasanku, katanya menjilat
Kalau atasanku menyenangkan atasannya, katanya kerjasama
Kalau kerjaanku baik, atasanku tak pernah ingat
Kalau aku membuat kesalahan, atasanku tak pernah lupa

ANAK BELAJAR DARI KEHIDUPANNYA

ANAK BELAJAR DARI KEHIDUPANNYA
(Doothy Low Nolty)

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa bersalah, ia belajar menyela diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangkan diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan berbagi rasa, ia belajar kedermawanan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar cinta dalam kehidupan

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Penyuluh Agama Islam Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan)

Tulisan ini merupakan intisari dari karya ilmiah (skripsi) saya pada jurusan tafsir hadis IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta tahun 2003. Menarik untuk dibuka lagi sehubungan perbincangan tentang poligami pada akhir-akhir ini kembali marak. Dalam kesempatan ini, penulis akan menyoroti secara ringkas perkembangan poligami dalam sejarahnya terutama dalam tradisi Islam.
Poligami berasal dari bahasa Yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan gemain yang berarti kawin/perkawinan. Jadi secara terminologi poligami merupakan pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa wanita. yang dalam bahasa Arab disebutnya dengan istilah ta’addud al-zawjat.
Praktek poligami sudah meluas dan berlaku pada bangsa sebelum Islam datang. Di antara bangsa-bangsa yang melakukan poligami adalah Arab Jahiliyah, Ibrani, Cicilia yang kemudian melahirkan sebagian penduduk yang menghuni sebagian penduduk yang menghuni negara-negara antara lain; Rusia, Polandia, Cekoslavia dan Yogaslavia (Mutahhari, 1986).
Telah banyak data dan fakta bahwa poligami ada sebelum Islam datang. Bahkan poligami telah dipraktekkan oleh negara-negara lain di luar Arab. Menurut para ahli antropologi dan sejarah kebudayaan primitif mengatakan bahwa poligami yang dilakukan oleh banyak negara oleh penduduknya dianggap sebagai sebuah tradisi. Lebih lanjut, mereka mengaskan bahwa poligami yang telah menjadi tradisi tersebut sebagai akibat dari sisa perbudakan kaum wanita, di mana orang-orang yang berkuasa dan para pemilik harta memperlakukan kaum wanita semata-mata sebagai pemuas nafsu dan pengabdi dirinya (Rasyid Ridho, 1986).
Tidaklah benar apabila dikatakan bahwa Islam-lah yang mula-mula membawa sistem poligami, sebagaimana yang dituduhkan para orientalis. Poligami hingga saat ini mengakar pada beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti bangsa asli Afrika, India, Cina dan Jepang. Juga tidak benar bahwa sistem poligami hanya berlaku di negara Islam saja (Rasyid Ridho, 1986)

Poligami dalam Tradisi Islam
Di jazirah Arab, sebelum kedatangan Islam, praktek poligami telah dikenal luas, bahkan menjadi tradisi. Selain poligami, orang-orang Arab Jahiliyah juga mempraktekkan poliandri ataupun model perkawinan lannya.
Dalam kitab Sahih Al-Bukhori diriwayatkan bahwa Aisyah telah mengatakan bahwa di tanah Arab di zaman Jahiliyah, empat macam perkawinan dipraktekkan. Pertama, adalah yang sama seperti yang berlaku sekarang, yakni seorang pria melalui ayah di wanita melamar si gadis dan setelah menetukan mahar lalu mengawininya. Kedua, nikah al-istibda yaitu seorang pria yang mengwini seorang wanita, mengoper atau menitipkan isterinya kepada pria lain selama jangka waktu tertentu dengan maksud mendapatkan anak bangsawan melalui si pria itu. Ketiga, sekelompok pria yang berjumlah kurang dari sepuluh orang melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita tertentu. Apabila si wanita hamil dan si anak dilahirkannya, wanita itu memanggil sekelompok pria yang menggaulinya itu selanjutnya wanita tersebut memilih ayah dari anak yang dilahirkanya sesuai dengan kecenderungannya. Keempat, si wanita resminya adalah pelacur. Setiap pria, tanpa terkecuali, dapat mengadakan hubungan seksual dengannya. Wanita golongan ini biasanya memasang bendera pada bubungan rumah mereka, dan dengan tanda itu mereka dapat dikenali. Apabila lahir seorang anak dari wanita ini, maka wanita ini mengumpulkan semua pria yang telah menggaulinya kemudia ahli nujum dan fisiogonomis dipanggil. Berdasarkan tanda-tanda distintif dari wajah si anak, para ahli nujum menyuarakan pandangannya mengenai anak siapakah si bayi tersebut, dan kemudian si pria yang ditunjuk wajib menerima pendapat pada ahli nujum tersebut dan memandang anak itu sebagai anaknya yang sah.
Selain keempat model perkawinan di atas, model perkawinan lainnya seperti nikah al-magtu, nikah badal, nikah al-syigar, nikah khadan, nikah bagaya, nikah al-irs dan nikah mut’ah. Kesemuanya telah banyak dipraktekkan bahkan menjadi tradisi bagi masyarakat Jahiliyah (Al-Jahrani, 1997).
Tumbuhnya praktek poligami dan model perkawinan lainnya di jazirah Arab sebelum Islam datang, merupakan akibat dari pandangan masyarakat Arab Jahiliyah terhadap perempuan. Bagi mereka perempuan dianggap sebagai mahluk kedua, maka tak heran jika terjadi penindasan, eksploitasi ataupun tekanan-tekanan sosial lainnya terhadap perempuan.
Setelah datangnya Islam ke jazirah Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, bentuk-bentuk perkawinan yang ada pada masa Jahiliyah oleh Islam dihapuskan dan dilarang. Adapun bentuk perkawinan poligami, Islam tidak menghapusnya secara radikal tetapi secara gradual. Yaitu dengan cara memberikan batasan mengenai jumlah isteri maksimal empat bagi seorang suami yang berpoligami (QS. Al-Nisa: 3). Di samping itu, Islam mengaharuskan berbuat adil bagi suami yang melakukan poligami. Batasan-batasan yang diberikan Islam terhadap praktek poligami merupakan usaha perlindungan terhadap perempuan dalam konteks hukum, sosial atau sopan santun.
Dalam konteksnya pada waktu itu, pembatasan poligami tidak dirancang untuk memenuhi hasrat seks kaum laki-laki, tetapi merupakan sebuah legislasi sosial. Banyaknya anak yatim dan juga kematian tentara Muslim dalam perang Uhud telah meninggalkan janda-janda, anak-anak perempuan, dan saudara-saudara perempuan yang kesemuanya memerlukan perlindungan. Oleh karena itu Nabi memberikan jalan poligami sebagai cara memberikan perlindungan terhadap mereka. Cara tersebut akan memungkinkan semua perempuan yatim untuk menikah, dan menekankan bahwa seorang laki-laki hanya dapat bersiteri lebih dari satu jika dia berjanji untuk mengurus mereka dan hartanya secara adil (Karen Amstrong, 2001).
Bagaimana dengan poligami yang dilakukan Nabi?. Sebagaimana diketahui Nabi menikahi sebelas isteri dalam waktu yang berbeda. Di sisi lain, Nabi pernah menikahi sembilan isteri dalam waktu bersamaan. Sekilas adanya kesan telah terjadi perbedaaan hukum di antara Nabi dan umatnya. Padahal kalau dicermati perbuatan Nabi dengan menikahi isteri-isterinya bukan untuk kebutuhan biologis tapi untuk tujuan perlindungan. Terbukti isteri-siteri yang dinikahi Nabi kebanyakan sudah janda dan secara ekonomis tidak menguntungkan.
Di samping itu, Nabi melakukan praktek poligami semata-mata karena ketidakberdayaan Beliau atas kehendak Allah SAW. Bahkan dalam sebuah hadis, Nabi sering berdoa terhadap ketidakberdayaan Beliau atas perlakuan adil terhadap isteri-isterinya. Doa tersebut yaitu: “ya Allah inilah keadilanku yang aku miliki janganlah Engkau bebankan sesuatu yang tidak aku miliki (Sunan Abu dawud).

Poligami Pada Masa Sekarang
Turunnya QS. Al-Nisa : 3 dan adanya beberapa Hadis yang menunjukan kebolehan bagi para sahabat untuk “hanya” memiliki empat orang isteri, dan meninggalkan kebiasaan mereka yang memperisteri lebih dari empat orang. Hal ini merupakan bukti bahwa syariat Islam tentang masalah poligami diturunkan secara gradual mengingat masyarakat Arab mempunyai tradisi sendiri kaitannya dengan masalah ini. Di samping itu, turunnya QS. Al-Nisa ayat 3 tersebut sebagai respon sosiologis dan antropologis al-Qur’an terhadap masyarakat pada masa itu. Oleh karena itu bilangan empat jangan diartikan sebagai batasan maksimal untuk masa sekarang, tetapi batasan tersebut untuk masa lampau.
Dalam kenyataannya, sampai saat ini poligami terus menjadi satu kebiasaan karena didukung oleh adanya ideologi yang telah lama menggejala di masyarakat Islam. Kebolehan poligami yang didukung oleh al-Qur’an dan Hadis Nabi kurang didukung oleh pemahaman yang komprehensif terhadap konteks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis itu sendiri, sehingga terjadi generalisasi terhadap kebolehan perkawinan poligami.
Setelah perkembangan sosial semakin hari semakin kompleks. Keabsahan poligami mulai dipertanyakan kembali oleh sebagian masyarakat. Seiring dengan berubahnya relasi laki-laki dan perempuan, poligami inipun secara resmi kenegaraan diatur bahkan ada yang dilarang. Sebagaimana yang terjadi di Turki (1917), Mesir (1920), Suriah (1953), tunisia (1956), Irak (1959) Yaman Selatan (1974). Hanya saja, dengan adanya skripturalis Islam kembali mementahkan usaha ini (Suryadilaga, 2002).
Bagaimana dengan keberadaan hukum di Indonesia kaitannya dengan masalah poligami ?. Di Indonesia, sebelum adanya Undang-Undang perkawinan, persoalam poligami telah marak dibicarakan. Walaupun pada akhirnya monogami ditetapkan sebagai asas perkawinan. Dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diizinkan bagi suami bersiteri lebih dari satu Tentu saja dengan beberapa persyaratan dan persetujuan dari Pengadilan Agama. Persyaratan tersebut berdasarkan pasal 4 ayat 2 UU no. 1 tahun 1974 adalah isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu, dalam pasal 5 disebutkan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan berpoligami. Pertama, adanya persyaratan dari isteri/isteriisteri, kedua, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan sehari-hari isteri dan anak-anak, ketiga, mampu berbuat adil terhadap anak-anak dan isteri-isterinya.
Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ketentuan dan persyaratan untuk berpoligami dipertegas dan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Bagi masyarakat Muslim, ketentuan dan persyaratan poligami diatur dalam KMA RI Nomor 154 tahun 1991.
Apa yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan hukum di Indonesia mengenai kebolehan poligami, pada dasarnya ditujukan untuk melindungi perempuan dari tindakan poligami yang sewenang-wenang. Di samping sebagai upaya meminimalisir kemungkinan poligami.

Kesimpulan
Setelah menjelaskan asal-usul perkembangan sejarah poligami. Dapat diketahui bahwa poligami dalam perspektif historis merupakan kebiasaaan yang ada dalam masyarakat. Walaupun dalam realitanya poligami mengalami pergeseran-pergeseran, hal ini sesuai dengan kondisi sosiologis dan antropologis yang menyertainya.
Dalam sejarah Islam, sebelum Islam datang praktek perkawinan poligami suatu hal yang biasa dilakukan. Setelah Islam datang, secara gradual kebiasaan tersebut diperketat dengan adanya batasan jumlah maksimal empat orang isteri dan kemampuan berbuat adil bagi suami. Saat ini, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, yang meniscayakan adanya relasi laki-laki dan perempuan, poligami mulai dipertanyakan kembali keabsahannya. Wallahu a’lam


Kuningan, 11 Desember 2006
Penulis,




Asep Nurdin