Selasa, 12 April 2011

KREATIFITAS PENYULUH AGAMA ISLAM

KREATIFITAS PENYULUH AGAMA ISLAM
(Memanfaatkan Internet Sebagai Media Dakwah)
Oleh : Asep Nurdin
(Penyuluh Agama Islam Kecamatan Lebakwangi Kabuapaten Kuningan)

Penyuluh agama adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, wewenang, tanggung jawab dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama kepada masyarakat.
Penyuluh agama merupakan orang atau tokoh agama yang sangat berperan dalam membina umat beragama guna meningkatkan keimanan ketakwaan dan kerukunan umat beragama serta memperkokoh NKRI.
Begitu halnya dengan Penyuluh Agama Islam (PENAIS), tugas dan kewajibannya sama dengan penyuluh agama lainnya. Perbedaanya terletak pada bidang agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Seorang penyuluh agama Islam bertugas dan berkewajiban melaksanakan bimbingan dan penyuluhan agama Islam kepada kelompok masyarakat yang ada di wilayah binaannya.
Dalam konsep Islam, kegiatan bimbingan dan penyuluhan agama Islam kepada masyarakat merupakan bagian dari kegiatan dakwah. Dakwah artinya menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl : 125).
Orang yang melakukan dakwah disebut da’i. Penyuluh agama Islam bisa dikatakan juga sebagai da’i. Karena penyuluh agama Islam adalah orang yang bertugas menyeru dan mengajak masyarakat supaya meningkatkan pemahaman keagamaan (fikroh), spiritualitas (syu’ur) dan perilaku (suluk) yang tidak sesuai menjadi sesuai dengan tuntunan syariat sehingga membentuk sebuah masyarakat yang islami (al-mujtama’ al-islmai) dalam bingkai NKRI.
Keberhasilan dakwah tidak hanya ditentukan oleh satu komponen saja. Sebagai sebuah sistem, dakwah mempunyai tujuan yang sudah jelas. Di samping itu, kegiatan dakwah banyak ditentukan oleh berbagai komponen atau subsistem yang mempengaruhinya. Komponen tersebut di antaranya strategi, materi, media dan evaluasi dakwah.
Untuk mencapai tujuan dakwah tersebut, seorang da’i atau penyuluh agama Islam dituntut untuk mampu melaksanakan kegiatan dakwah dengan meramu secara kreatif berbagai komponen dakwah di atas.
Selama ini, kebanyakan para penyuluh agama melakukan dakwah (BP) dengan cara-cara konvensional yaitu ceramah atau khitabah. Karena memang budaya umat Islam dalam berdakwah selama ini lebih menonjolkan cara billisan, orasi, atau pidato di atas mimbar.
Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih terutama dengan hadirnya internet. Para penyuluh agama islam dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melalukan dakwahnya. Salah satunya dengan memanfaatkan internet sebagai media dakwah.
Hadirnya akses internet merupakan media yang tidak bisa dihindari karena sudah menjadi peradaban baru dalam dunia informasi dan komunikasi tingkat global. Dengan adanya akses internet, maka sangat banyak informasi yang dapat dan layak diakses oleh masyarakat luas, baik untuk kepentingan pribadi, pendidikan, bisnis dan lain-lain. Dimana munculnya jaringan internet dianggap sebagai sebuah revolusi dalam dunia komunikasi dan informasi.
Pada awal kemunculannya, internet oleh sebagai kalangan ulama Islam dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, ternyata jaringan internet yang hampir menelan seluruh penjuru dunia adalah merupakan media yang efektif dan efesien dalam menyuarakan kepentingan Islam dengan memperkenalkan, mengajak (dakwah), membela dan memecahkan berbagai problema ummat.
Oleh karena itu, bagi para penyuluh agama hadirnya internet merupakan media yang cocok untuk melakukan dakwah. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1. Dengan menggunakan fasilitas website seperti yang telah dilakukan oleh banyak organisasi Islam maupun tokoh-tokoh ulama.
2. Dengan menggunakan fasilitas mailing list dengan mengajak diskusi keagamaan atau mengirim pesan-pesan moral kepada seluruh anggotanya.
3. Dengan menggunakan fasilitas chatting ynag memungkinkan untuk berinteraksi secara langsung.
4. Dengan cara tulisan yang diakses di internet dan nantinya disebarluaskan agar para komunitas internet bisa membacanya
Dakwah melalui internet termasuk jenis dakwah dakwah bil kitabah atau dakwah melalui tulisan yang mengandung pesan dakwah. Salah satu keuntungan dari dakwah model ini adalah tidak lekang oleh zaman, meskipun sang da’i, atau penulisnya sudah wafat. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada”.(Alamat Blogspot Pokjaluh Kab. Kuningan www.asepnurdin-bahagia.blogspot.com)

MENINGKATKAN PROFESIONALISME PENYULUH AGAMA ISLAM MELALUI PENELITIAN

MENINGKATKAN PROFESIONALISME PENYULUH AGAMA ISLAM
MELALUI PENELITIAN
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd

Dalam keputusan MENKOWASBANGPAN No. 54/KEP/MK.WASPAN/ 9/1999 Tanggal 30 Seeptember 1999 tentang jabatan fungsional disebutkan bahwa penyuluh agama adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, wewenang, tanggung jawab dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama.
Berdasarkan keputusan di atas, maka penyuluh agama merupakan orang atau tokoh agama yang sangat berperan dalam membina umat beragama guna meningkatkan keimanan ketakwaan dan kerukunan umat beragama serta memperkokoh NKRI.
Karena perannya yang sangat penting, sejak awal keberadaannya, penyuluh agama dijadikan sebagai ujung tombak Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) dalam melaksanakan penerangan agama di tengah pesatnya dinamika perkembangan masyarakat di Indonesia.
Seoarang penyuluh agama Islam (khususnya) bisa dikatakan sebagai agen pengubah (agent of change) yang berkewajiban untuk menyeru dan mengajak masyarakat supaya meningkatkan pemahaman keagamaan (fikroh), spiritualitas (syu’ur) dan perilaku (suluk) yang tidak sesuai menjadi sesuai dengan tuntunan agama, sehingga membentuk sebuah masyarakat yang islami (al-mujtama’ al-islmi).
Untuk melaksanakan tugasnya tersebut, seorang penyuluh agama haruslah memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu, baik yang menyangkut kepribadian, pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional.
Penyuluh agama dan juga penyuluh-penyuluh bidang lainnya menurut Yoder (1999) harus harus memiliki kompetensi sebagai berikut :
1. Kompetensi administrasi, yakni tingkat kemampuan yang mencakup aktivitas di dalam merumuskan tujuan program bimbingan dan penyuluhan
2. Kompetensi perencanaan program, yakni tingkat kemampuan yang mencakup aktivitas dalam penentuan kebutuhan sasaran (client/konseli) program bimbingan dan penyuluhan, penentuan tujuan dari program, identifikasi potensi masyarakat, perencanaaan program, pengembangan jadwal kegiatan penyuluhan.
3. Kompetensi pelaksanaan program, yakni tingkat kemampuan yang mencakup aktivitas: kepemimpinan atau pemanduan di dalam perencanaan dan pelaksaan program,
4. Kompetensi pengajaran, yakni tingkat kemampuan yang mencakup aktivitas pengembangan perencanaan pengajaran, penyajian informasi, kegiatan bimbingan atau konseling, pelaksanaan prinsip pengajaran, perencanaan dan pengorganisasian kunjungan lapangan.
5. Kompetensi komunikasi, yakni kemampuan yang mencakup; mengontrol sikap dalam berkomunikasi, penyiapan publikasi dan penggunaan alat komunikasi, membangun komunikasi diantara dan sasaran serta pihak terkait.
6. Kompetesi pemahaman perilaku manusia, yakni kemampuan yang mencakup: menilai persepsi sosial, pengenalan budaya sasaran, identifikasi kelompok potensial dalam masyarakat sasaran, pengenalan perbedaan peta kognitif dan kelompok umur sasaran, dan mengidentifikasi dan mengenal perilaku sosial.
7. Kompetensi memelihara profesionalisme, yakni kemampuan yang mencakup: mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan profesionalisme, membangun integritas kepribadian dan moral, membangun integritas intelektual, dan membangun rencana untuk pengembangan profesionalisme
8. Kompetensi evaluasi, yakni kemampuan yang mencakup; penggunan pendekatan dan strategi dalam kerja penyuluhan, mengidentifikasi yang dibutuhkan untuk penelitian, kerjasama dengan lembaga penelitian, mempersepsi dan menggunakan temuan-temuan penelitian.

Dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, penyuluh agama seringkali dihadapkan pada berbagai permasalahan, khususnya permasalahan yang menyangkut sikap keagamaan atau religiusitas masyarakat. Terlebih lagi di era globalisasi seperti sekarang ini, kehidupan keagamaan (religiusitas) masyarakat senantiasa mengalami fluktuasi akibat berbagai pengaruh yang datangnya dari luar.
Menghadapi persoalan tersebut, penyuluh agama dituntut untuk mampu mencari problem solving yang dihadapinya. Salah satu cara ilmiah untuk mencari problem solving terhadap suatu permasalahan adalah dengan melakukan penelitian.
Penelitian di kalangan penyuluh agama mungkin dianggap sesuatu yang “asing” karena jarang dan mungkin belum sama sekali dilakukan oleh para penyuluh agama. Di samping itu, adanya anggapan bahwa kegiatan penelitian hanya monopoli dosen, ilmuwan ataupun profesor saja. Tentu saja hal ini adalah keliru.
Dalam pengertiannya yang sederhana, penelitian (Hillway, 1956) adalah suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap permasalahan tersebut.
Dengan demikian, penelitian bisa dilakukan oleh siapapun yang ingin mencari pemecahan terhadap permasalahan yang dihadapinya. Terlebih lagi bagi penyuluh agama yang tentu saja mempunyai berbagai permasalahan yang perlu dicarikan solusinya.
Oleh karena itu, penelitian bagi seorang penyuluh agama sangatlah penting untuk mencari problem solving dari berbagai persoalan yang dihadapinya. Penelitian bagi penyuluh agama bisa menjadi alat untuk mengasah ketajaman intelektual dan proses berpikirnya, yang tentu akan berimbas tidak saja pada kualitas bimbingan dan penyuluhan di masyarakat semata. Namun, penelitian tersebut sangat berkontribusi terhadap pembangunan dan kemajuan SDM secara umum.
Penyuluh agama seharusnya tidak hanya berkonsentrasi pada rutinitas memberikan ceramah pada ”majelis taklim” saja. Melainkan juga harus selalu menyempatkan diri untuk menulis sebuah karya tulis yang ditunjang dengan penelitian terkait dengan problematika bimbingan dan penyuluhan agama yang dilakukannya.
Untuk membentuk keterampilan dalam kegiatan penelitian dan karya tulis ilmiah lainnya, pertama-tama penyuluh agama harus mempunyai minat baca dan tulis yang tinggi. Membaca dan menulis ini adalah modal dasar dalam melakukan sebuah peneltian. Selanjutnya, POKJALUH (Kelompok Kerja Penyuluh Agama) sebagai wadah pemberdayaan para penyuluh agama harus senantiasa mengadakan berbagai kegiatan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan penyuluh agama dalam penelitian. Misalnya, melalui kegiatan diskusi, pelatihan, bedah buku dan sebagainya. (dari berbagi sumber)

Rabu, 06 April 2011

BENCANA KARENA DOSA

BENCANA KARENA DOSA
Oleh : Asep Nurdin

Allah swt berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’rof: 96)
Ayat di atas mengingatkan kita semua terhadap berbagai bencana yang menimpa negeri ini di tahun 2010 M/1431 H. Sebagaimana kita ketahui dan rasakan bersama, tahun 2010 merupakan tahun ”berduka” bagi rakyat Indonesia akibat dampak buruk dari berbagai bencana alam. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana banjir bandang menewaskan puluhan orang dan ratusan rumah hancur di Wasior Papua, disusul kemudian bencana tsunami yang terjadi di Mentawai Sumatra Barat yang mengakibatkan 500 orang meninggal dunia dan ratusan bangunan rusak, hancur dan rata dengan tanah. Dan yang terakhir, meletusnya gunung merapi di Yogyakarta yang telah melululantahkan rumah, hutan, binatang ternak bahkan ratusan orang dinyatakan meninggal dunia. Subhanallah
Kenapa semua bencana itu menimpa negeri ini?. Sebuah pertanyaan yang perlu dicari jawabannya sebagai bahan introspeksi dan mencari hikmah dibalik semua bencana tersebut. Karena setiap peritiwa bencana, tersimpan berbagai hikmah yang terkadang manusia tidak mengetahuinya.
Secara kajian ilmiah, Indonesia adalah negara kaya akan sumber daya alam, tapi juga memiliki potensi bencana alam yang cukup besar. Misalnya, Indonesia memiliki 129 gunung api aktif. Jumlah itu setara dengan 13% dari jumlah gunung berapi aktif di dunia yang keseluruhannya berjumlah 820 buah. Sehingga wilayah Indonesia masuk pada titik ”ring of fire” atau sabuk gunung api.
Di samping itu, Indonesia merupakan kawasan tempat bertemunya tiga lempeng tektonik bumi, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan lempeng Pasifik. Pertemuan Indo-Australia dengan Eurasia sepanjang pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa hingga Nusa Tenggara. Sementara lempeng Indo-Australia dengan Pasifik bertemu di Papua dan Maluku sebelah utara. Hal ini mengakibatkan Indonesia sebagai negara rawan gempa tektonik.
Walaupun secara kajian ilmiah Indonesia termasuk wilayah yang rawan terkena bencana. Namun demikian bencana bisa terjadi kapan saja dan di mana saja jika Allah sudah berkehendak. Alquran mengisyaratkan bahwa tidak ada musibah yang terjadi kecuali atas izin Allah Itu sebabnya Allah SWT menyatakan: “Allah yang menciptakan hidup dan mati untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Lihat juga QS. Muhammad: 31 dan QS. al-Baqarah: 255.
Bencana adalah bagian dari musibah. Sebab kata “musibah” pada mulanya berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”. Sebenarnya sesuatu yang menimpa itu tidak selalu buruk. Hujan bisa menimpa kita dan itu dapat merupakan sesuatu yang baik. Memang, kata musibah konotasinya selalu buruk, tetapi karena boleh jadi apa yang kita anggap buruk itu, sebenarnya baik, maka Alquran menggunakan kata ini untuk sesuatu yang baik dan buruk (QS. al-Baqarah: 216).
Setiap musibah yang menimpa umat manusia, pada dasarnya disebabkan karena ulahnya sendiri sebagai ujian dan balasan yang ditimpakan Allah terhadap apa yang telah dilakukannya di dunia (QS. As-syuraa : 30). Mungkin saja berbagai bencana yang menimpa bangsa ini akibat dosa-dosa yang telah dilakukan oleh masyarakatnya sendiri. Sebab, di zaman globalisasi seperti sekarang ini, banyak orang yang lengah dan lupa kepada Allah. Berbagai rutinitas demi memenuhi hasrat sering menjadikan manusia lupa akan Allah. Karena itu kita perlu diingatkan. Ada orang-orang yang tidak menyadari adanya Allah karena melihat segala sesuatu berjalan harmonis. Allah ingin mengingatkan orang-orang tersebut, bahwa jangan duga Allah telah lepas tangan. Diingatkannya manusia melalui bencana. Sebagaimana firman Allah swt :
”Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS.Al-Isra : 16)
Apa yang disinyalir Allah dalam ayat di atas, hampir mendekati kenyataan. Realitas memperlihatkan kepada kita bahwa dari hari ke hari semakin banyak orang yang terjebak dalam pola hidup mewah atau hedonis. Hedonis atau hedonisme adalah sikap yang mengukur “kebahagian” berdasarkan keberhasilan materi. Pola hidup hedonis menciptakan manusia yang moralnya terbatas pada masalah kebutuhan praktis belaka, yang ukuran kebaikan dan kejahatan tertingginya adalah keberhasilan materi. Semakin tumbuh suburnya berbagai penyakit masyarakat seperti korupsi, judi, prostitusi, aborsi, dan bunuh diri adalah ekses negatif dari pola hidup hedonis ini.
Mungkin itulah ”dosa-dosa” yang menjadi sebab kenapa Allah swt menimpakan berbagai bencana untuk negeri ini. Ini adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sesuai dengan momentum tahun baru Islam 1432 H, mari kita ”berhijrah” untuk hadapi hari-hari di tahun baru ini dengan semangat pengorbanan dan usaha yang sungguh-sungguh (zuhud), kita mulai memperbaiki diri kita (ibda binafsik) dengan akhlakul karimah, memantapkan iman dan takwa demi tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat. (dari berbagai sumber)

JABATAN ADALAH AMANAH

JABATAN ADALAH AMANAH
(Kenapa orang ambisius menginginkannya?)
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd

Seorang teman bercerita kepada saya mengenai ayahnya yang sudah pensiun dari kepala sekolah di usianya yang ke-54 tahun. Usia yang sebenarnya belum waktunya untuk pensiun, karena sesuai dengan peraturan yang berlaku, masa usia pensiun seorang kepala sekolah bisa sampai usia 60 tahun. Menurutnya, ayahnya itu sebenarnya baru menjabat sebagai kepala sekolah sejak 2 tahun yang lalu, namun dengan alasan tertentu, ayahnya mengajukan diri untuk pensiun dini.
Kemudian teman saya bercerita,“Dulu, ayah saya iu adalah salah seorang yang disegani di sekolah tersebut. Kata teman-temannya, ayah saya di samping sebagai guru senior, beliau juga seorang guru yang terkenal jujur dan berwibawa. Mungkin karena unsur itulah, ayah saya sering ditawarin untuk menjadi kepala sekolah. Namun setiap tawaran itu datang, ayah saya menolaknya dengan alasan tidak berminat. Namun, pada suatu waktu, tanpa ada tawaran terlebih dahulu, surat keputusan (SK) menjadi kepala sekolah diterimanya secara tiba-tiba. Sehingga mau tidak mau, ayah saya harus menerima SK menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah. Singkatnya, di awal karirnya menjadi kepala sekolah, ayah saya sering dihadapkan pada suatu perintah atau kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Namun, karena sistemnya menuntut seperti itu, ayah saya harus tetap menjalankan kebijakan tersebut walaupun batinnya merasa tertekan dan berontak. Atas dasar itulah, sehigga ayah saya memutuskan untuk pensiun dini dari kepala sekolah demi menjaga ketenangan dan ketentraman batinnya”.

Kisah nyata di atas menggambarkan tentang seorang pejabat yang selalu resah hatinya karena jabatannya. Sehingga dia lebih memilih mundur dari jabatannya daripada tetap menjadi pejabat namun tidak mampu berbuat jujur dan terpercaya (amanah).
Di zaman materialistis seperti sekarang ini, mungkin kisah di atas merupakan kisah langka yang hanya terjadi 1 : 100 atau mungkin 1 : 1000 dari seluruh pejabat yang ada. Karena dalam kenyataannya, jabatan bagi sebagian besar orang adalah sesuatu yang diidam-idamkan. Sehingga ketika jabatan itu diraihnya, dia akan merasa senang dan gembira. Pelbagai “pestapun” digelarnya untuk mengungkapkan rasa senang atas diraihnya jabatan tersebut. Setelah menjabat, dia akan tetap berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya sambil berusaha “sikut kiri sikut kanan” untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.
Yang menjadi pertanyaan dan renungan kita semua, apakah jabatan itu suatu kenikmatan atau suatu amanah? Layakkah kita senang mendapatkan jabatan itu? Ataukah malah sedih atau takut?
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Abu Dzar bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, ”Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberiku jabatan?” Kemudian Rasulullah menepuk pundak Abu Dzar, lalu beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau itu lemah, sedangkan jabatan itu amanah, dan jabatan itu akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang memperolehnya dengan benar dan melaksanakan kewajiban yang diembankan kepadanya.”
Begitu beratnya memangku sebuah jabatan, ketika Umar Ibnu Al-Khatab diangkat menjadi khalifah, beliau mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, kemdian ditanya oleh sahabat yang lain, mengapa kalimat itu yang pertama kali terlontar dari mulut beliau, beliau mengatakan bahwa jabatan itu amanah dan harus dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah SWT.
Islam memandang jabatan sebagai sebuah amanah. Pengertian amanah bukan sebatas memelihara barang titipan, sebagaimana pandangan kebanyakan orang. Namun amanah dalam pengertiannya yang luas adalah setiap orang yang mampu merasakan bahwa Allah swt senantiasa menyertainya dalam setiap urusan yang dibebani kepadanya, dan setiap orang memahami dengan penuh keyakinan bahwa kelak ia akan dimintakan pertanggung jawaban atas urusan tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw :
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang laki-laki adal pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dalam memelihara harta tuannya dan ia akan ditanya pula tentang kepemimpinannya”, (HR Imam Bukhori).

Tidak semua orang mau dan mampu memegang amanat, oleh karena itu jarang sekali orang secara sukarela diberi amanat oleh orang lain. Namun berbeda dengan jabatan. Walaupun jabatan adalah amanah, namun banyak orang yang berambisi untuk menjadi pejabat. Mereka rela melakukan “apa saja” hanya untuk meraih dan menduduki sebuah jabatan. Kenapa bisa demikian?. Jawabannya mungkin karena jabatan sebagai “ladang basah” yang dapat menghasilkan uang dan prestise.
Ungkapan "right man in the right place" sudah tidak berlaku lagi, karena pengangkatan seorang menjadi pejabat terkadang tidak melihat lagi kemampuan dan profesionalitasnya, tapi lebih cenderung kepada faktor suka atau tidak suka.
Dalam hadis Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli daripadanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (HR al-Hakim)
Sebagai muslim, kita tentu berharap lahirnya para pejabat atau pemimpin yang amanah. Pejabat yang mampu membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya, dan mampu serta berani “berkata TIDAK untuk korupsi”.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk meminta-minta jabatan. Akan tetapi apabila diberi kesempatan untuk memangku sebuah jabatan atas dasar kompetensi dan keahlian, maka terimalah dan jadilah pejabat yang amanah dan bertanggunjawab. Namun apabila merasa tidak kompeten dan ahli di bidangnya, janganlah menerima jabatan apapun yang ditawarkan. Wallahu a’lam

HATI-HATI DENGAN PENYAKIT AL-WAHNU

HATI-HATI DENGAN PENYAKIT AL-WAHNU
Oleh : Asep Nurdin
(Penais Kec. Lebakwangi Kab. Kuningan)

Rasulullah SAW bersabda : “Kalian akan menjadi ajang rebutan umat lain bagaikan makanan dalam mangkuk.” Para Sahabat bertanya, “apakah jumlah kami sedikit pada waktu itu, ya Rasulullah?. Rasulullah saw menjawab, “jumlah kalian pada saat itu banyak sekali, namun kalian bagaikan buih air banjir. Dan sesungguhnya Allah akan menacabut rasa takut dari dada musuh-musuh kalian, dan Allah SWT akan memasukkan al-wahnu dalam relung hati kalian.” para sahabat bertanya lagi, “Apa al-wahnu itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “cinta dunia dan takut mati” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Empat belas abad yang lalu, Rasulullah saw secara gamblang dan jelas telah memberikan penggambaran kepada para sahabatnya mengenai keadaan kaum muslimin pada masa akan datang sebagaimana hadis di atas.

Kini, penggambaran Nabi tersebut terasa sangat nyata di hadapan kita, kaum muslimin di dunia jumlahnya telah mencapai lebih dari satu milyar dan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Namun, angka yang fantastis ini tidak menjadikannya kaum muslimin kuat dan maju, malah sebaliknya menjadi umat yang lemah dan terbelakang seperti buih air banjir yang terombang-ambing kesana kemari tanpa punya arah tujuan.

Dalam kitabnya limadza al-Islam, Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa umat Islam sudah menjadi umat terbelakang di bidang industri, pertanian, iptek maupun dalam seluruh aspek kehidupan. Umat Islam menjadi umat yang tidak diperhitungkan oleh orang lain dan menjadi umat yang berserakan padahal umat Islam jumlahnya banyak. Kenapa demikian?. Karena kaum muslimin telah dihinggapi penyakit “al-wahnu”. Yaitu penyakit “cinta dunia dan takut mati.”

Cinta dunia dan takut mati merupakan dua perilaku yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena keduanya berpijak di atas pola pikir materialisme. Materialisme adalah suatu paham yang memandang dunia materi sebagai kehidupan yang realistis, sebaliknya alam ukhrawi merupakan kehidupan maya, khayalan dan tidak realistis.

Pengarang buku Islam At The Crossroad menyatakan bahwa materialisme adalah penyembahan terhadap kemajuan materi dan kepercayaan bahwa dalam hidup ini tiada tujuan lain selain membuat hidup semakin lebih mudah dan tidak tergantung dari alam.

Materialisme ibarat ”virus” yang telah merasuki sendi-sendi kehidupan manusia saat ini. Manusia menjalani hidup hanya untuk memperoleh kekuasaan dan kesenangan. Akibatnya, muncul kelompok-kelompok yang saling bermusuhan dan ”berperang” demi untuk memperoleh kekuasaan dan kesenangan.

Materialisme menciptakan manusia-manusia yang moralnya terbatas pada masalah kebutuhan praktis belaka, yang ukuran kebaikan dan kejahatan tertingginya adalah keberhasilan materi. Perilaku-perilaku konsumtif, hedonis, dan prestise merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya materialisme ini.
Di samping itu, materialisme menciptakan manusia-manusia yang takut mati. Karena mereka memandang kehidupan dunia sebagai kehidupan yang pertama dan yang terakhir, tidak ada kehidupan lagi setelah kehidupan dunia. Seorang materialist tidak peduli terhadap peningkatan rohani, kesalehan dan persiapan untuk keakhiratan. Yang dipikirkan hanyalah kemajuan materi sebagai modal mencari kesenangan.

Barangkali materialisme inilah yang sedang merasuki kaum muslimin saat ini. Materialisme yang menumbuhkan sikap cinta dunia dan takut mati. Padahal, cinta dunia dan takut mati sangat bertentangan dengan akidah Islam. Dalam Islam, di samping adanya kehidupan dunia, juga berkeyakinan adanya kehidupan akhirat. Kehidupan di dunia materi ini hanya bersifat sementara sebagai bekal untuk kehidupan akhirat yang kekal. Artinya, kehidupan di alam akhirat lebih realistis dibandingkan kehidupan di alam dunia. Namun demikian, bukan berarti harus melupakan kehidupan dunia.

Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77, Allah swt berfirman :
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”

Dalam ayat lain, Allah swt berfirman :

“Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”[An-Nisaa, 4:77-78]

Dalam konteks yang sama, Rasulullah saw bersabda :
”Yang terbaik di antara kalian bukanlah orang yang beramal untuk dunianya tanpa akhiratnya. Juga bukan orang yang beramal untuk akhiratnya saja dan meninggalkan dunianya. Tetapi yang terbaik di antara kalian adalah orang yang beramal untuk keduanya”.
Imam Ahmad mencatat riwayat dari Abu Dharda as,:
“Andai saja kamu mengetahui, apa yang engkau akan liat saat kematianmu, tentulah engkau tidak akan memakan segigitpun hidangan idamanmu, dan pula engkau tidak akan meminum lagi minuman lezat untuk memuaskan rasa dahaga mu yang tak terpuaskan”
Penyakit al-wahnu jelas-jelas sangat berbahaya. Sebagai muslim, kita harus yakin dan sadar bahwa kematian bukanlah akhir, namun sebuah permulaan untuk mencapai keadilan yang penuh rahmat dengan konsekuensi siksaan yang berat atau pahala yang indah. Dengan demikian akan terwujud manusia yang baik, masyarakat yang baik, keluarga yang baik karena dasar masyarakat yang baik adalah insan yang baik. Hanya akidahlah yang dapat memerbaiki manusia dan bila perorangan manusia baik maka masyrakatpun akan menjadi baik. Seseorang akan menjadi baik bila memperbaiki dirinya sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[Ar-Ra’d, 13:11].
Kalau menurut logika Marxis perubahan ekonomi dan produksi dapat merubah sejarah, maka logika al-Qur’an mengatakan “ubahlah diri anda sendiri maka sejarah akan berubah, ubahlah keadaan pada diri anda, niscaya Allah akan merubah nasib anda, dan keadaan anda akan bisa berubah dengan akidah yang benar. ©asepnurdin2010

Budaya Kaera

Budaya Kaera


Nu dimaksud ku kecap budaya kaera nya eta ngabiasakeun hirup mibanda rasa kaera dina sagala widang. Kecap kaera dina bahasa Arab nyaeta al-haya-u, anu hartina al-mathoru atawa nabatat, hartina hujan atawa tutuwuhan, maksadna tutuwuhan bakal tumuwuh subur alatan ayana turun hujan ti langit. Nya kitu deui manusa bakal tumuwuh subur ku kahadean alatan didorong ku rasa kaera.
Numutkeun Imam al-Jurjani dina kitabna al-Ta’rifat, yen anu dimaksud al-haya-u nya eta:

الحياء : إنقباض النفس من شيئ

Hartosna : kaera nya eta teu tugenahna hate tina hiji perkara.

Atawa lamun ku basa sejen mah yen anu dimaksud era teh ngarasa teu tugenah jiwa tina hiji perkara anu matak teu pikageunaheun kana hate, saperti katenjo orat keur mandi alatan aya nu noong, atawa aya hiji perkara anu ngahaja dibuni-buni ari heg teh kanyahoan ku balerea. Tangtu wae ngarasa wirang wiwirang saumur-umur alatan ngarasa diwiwirang dihareupeun jalma, bakating ku era dibeja-beja

Saterusna al-Jurjani ngabagi kaera kana dua rupa. Kahiji, nafsaniy (gharizah/instink), nyaeta rasa kaera anu geus dipelakkeun di sakabeh umat manusa. Boh manusa anu ti belah wetan, kulon, kaler atawa kidul sarua pada-pada mibanda kaera. Rasa kaera nafsaniy ieu anu ngabedakeun manusa jeung sato, sabab sato mah ku gusti Allah teu dipelakkeun rasa kaera, sabab teu perlu, da sato mah rek eraan rek heunteu tetep bakal dipeuncit diracah, da kitu tugas sato mah. Sato mah teu kudu boga rasa hariwang, dumeh awakna rek murah rek mahal demuh teu make baju atawa calana. Atawa sato mah teu kudu guinggasahan dumeh can boga sapatu, baju, sarung weteuh padahal geus deukeut ka lebaran.
Tah, ieu pisan kaunggulan manusa lamun dibandingken jeung sato, dina jero manusa ngahaja dipelakkeun dina hatena rasa kaera atawa kaiisin. Ku rasa kaera ieu manusa mola bakal kakusrukkeun kana hal-hal anu teu perlu. Kadua, imaniy, nya eta rasa kaera anu teu dipasrahkeun ka sakabeh jalma, ieu mah husus ngan keur jalma anu ariman wungkul, nya eta rasa kaera anu ngarojong kuat kana pikeun heunteu milampah anu matak pikaeraeun, saparti ongkoh ngaku muslim atawa dina KTP na Islam ari heg tara solat-solat acan. Leuwih te eta ngarasa boga kaera lamun tea mah dina hiji mangsa milmapah anu teu dipikaridho ku Pangeran

Iman Jeung Kaera
Dina salah sawios hadis, Rasulullah saw ngadawuh :
الحياء من الإيمان
Hartosna : “Kaera eta (torojolna) tina iman”
Naon sababna kaera dipatalikeun jeung iman ? Sabab ari kaera jeung iman the hiji beungkeutan anu teu bisa dipisahkeun. Lamun tea mah dipiceun (dileungitkeun) anu hiji pasti leungit anu hiji deui. Iman jeung kaera lir ibarat uyah jeung asina, atawa gula jeung amisna. Gula teu amis atawa uyah teu asin tetela palsuna, saperti palsuna iman pikeun jalma anu teu boga kaera, atawa bakal sarua jalma anu boga rasa kaera tapi teu didasaran ku kaimanan, nya manehna milampah pagawean ngan saukur bobodoan, lir ucing nyanghareupan paisan anu di hareupeuna dunungan, mangsa aya tungkul siga nu teu purun, siga nu gering tur eraan, tapi mangsa teu aya dununganan nyingkah ti eta tempat mah, ku sagala kabisa nyokot jeung maling mani rikat luar biasa. Kaera ngan jijieunan, lain kaera anu sebenerna torojol tina kaimanan.
Kaera mengarupikeun akhakna para Nabi, sakumaha Nabi Muhamammad misanggem :
إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى ادا لم تستح فاصنع ما شئت

Hartosna : “Satemenna tina naon nu kapendak ku manusa tina kasanggeman kanabian ti payun, lamun tea boga kaera mah geura prak pilampah sakahayang anjeun”
Dumasar hadis kasebut di luhur, nya kacida pisan jentrena pikeun urang sadaya yen rasa kaisin ngawasa lalakon lalampahan para utusan Allah swt, sabab memang rasa kaisin ieu mangrupa rem, lamun dina mobil mah, mana komo dina mangsa dunya ngabelesat lumpat tarik luar biasa. Dina mangsa saperti kitu, diperlukan rem anu pakem mingka pangeyedna. Ku urang bisa kabayang, kumaha balukarna lamun dunya ieu teu aya pengremna, cacakan aya rem pangaman oge, dunya the geuningan teu endah.
Lamun manusa geus teu boga kaera, manehna bakal milampah sakahayang sorangan, ieu anu bakal ngahancurkeun dirina. Sabab Allah swt rek ngahancurkeun hiji nagara, nya anu pangheulana dicabut nyaeta rasa kaera ti hambana. Lamun tea mah geus ilang rasa kaera persis kahirupana baris siga sato. Rasa kaera geus teu aya, hirup bakal silih benci jeung mikangewa ka sasama. Sakumaha ditetelakeun ku Rasulullah saw, anuh artosna :

“Lamun Allah seja ngancurkeun saurang manusa, Mantena bakal nyabut rasa kaera. Sarta lamun tea mah rasa kaera geus dicabut, anjeuna moal rek tinemu jeung eta jalma iwal ti kaayaan mikawengan atawa dipikangewa; sarta lamun tea mah eta kajadian the jadi kanyataan, nya bakal dicabut di kalangan manehna amanat, sarta bakal ditukeur ku hianat; sarta lamun eta kajadian, nya tinangtu bakal dicabut rasa kanyaah jeung kadeudeuh, lamun rasa kanyaah jeung kadeudeuh geus dicabut, anjeun moal rek bisa patepung jeung manehna iwal ti bakal silih laknat; sarta lamun eta kajadian geus jadi kanyataan, nya bakal dipinggeskeun beungkeutan Islam” (HR. Ibnu Majah)
Sumber : H. Emon (majalah Iber)

FALSAFAH UNTUNG

FALSAFAH UNTUNG
Oleh : Asep Nurdin

Di suatu hari di persimpangan jalan, saya mendapati seorang kakek sedang berjualan sapu lidi, sambil berjalan kaki, kakek itu membawa sapu lidinya dengan satu tangan kanannya karena memang tangan kirinya kelihatan tidak ada alias “buntung”. Pada saat itu, mungkin hampir semua mata tertuju kepadanya termasuk saya. Karena rasa iba dan penasaran saya menghampirinya dan mengajaknya untuk duduk istirahat sambil bercengkrama., Dari obrolan kami tersebut, yang paling menarik perhatian saya adalah tentang filofofi hidupnya yang sederhana. Menurutnya, penghasilannya dari penjualan sapu lidi hanyalah untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Sekecil apapun penghasilan yang diperolehnya setiap hari, ia selalu mengucapkan al-hamdulillah.. Dikatakannya, dengan kondisi catat fisik yang diterimanya, tidak menyurutkan semangatnya untuk bergerak dan mencari rezeki yang halal. Perkataan halal ini diulanginya berkali-kali, mungkin ia tahu sebagian masyarakat sudah tidak hirau lagi dengan masalah halal dan haram. Asal dapat, tidak peduli dari mana sumbernya.

Dari kisah di atas, kita tahu dan sadar bahwa manusia seperti kakek di atas adalah tipe manusia yang penuh tawakal dan qona’ah dalam mencari rezeki. Dengan keterbatasan fisik, tidak membuatnya menggerutu dan berkeluh kesah, malah sebaliknya tetap semangat dan ceria menjalani hidup dan kehidupannya. Dia selalu bersyukur, Allah masih memberikannya satu tangan, karena tidak sedikit orang yang kehilangan kedua tangannya bahkan kedua kakinya.
Dalam kearifan jawa, prinsip hidup sang kakek disitilahkan dengan “falsafah untung” (meminjam isitilah Kang Jalal). Falsafah untung merupakan prinsip hidup masyarakat jawa tatkala menghadapi cobaan hidup. Dalam tradisi masyarakat Jawa, sebesar apapun cobaan yang menimpa hidup ini selalu dihadapi dengan perkataan, ”masih untung...” atau “untung keneh…” kalau kata orang sunda mah.
Falsafah untung ini kalau dalam istilah psikologi disebut dengan gejala half full yaitu mensyukuri terhadap apa yang masih ada dan terisisa. Keduanya mengajarkan untuk tetap bersyukur dan optimis terhadap apapun yang terjadi.
Dalam bukunya Tafsir Kebahagian, Jalaludin Rahmat (2010) memberikan sebuah kisah yang berkaitan dengan gejala half full ini. Dikisahkan, ada seorang filosof dan penyair Iran bernama Saidi hendak mendirikan shalat di Masjid Bani Umayah di Damaskus. Selesai shalat, ia melihat sepatunya sudah tidak ada lagi. Ia menggerutu, meratapi sepatunya yang hilang. Hatinya menyalahkan setiap orang yang ada. Ia berbisik, di tempat ibadah kok malah terjadi pencurian.
Saidi lalu kembali ke dalam Masjid, hendak mananyakan barangkali ada yang tahu di mana sepatunya berada. Belum lagi sempat bertanya, ia melihat orang tua dengan senyum selalu terkulum di wajahnya, menyemberutkan bahagia dihatinya. Yang membuat Saidi tertegun adalah ternyata orangtua itu cacat, kehilangan kedua kakinya. Saidi lantas merenung, bagaimana bisa aku menggerutu hanya kerena kehilangan sepatu, sementara wajah orang itu memancarkan bahagia meski kedua kakinya telah tiada.
Falsafah untung ini tentu saja selaras dengan nilai-nilai Islam. Banyak ayat al-Qur’an maupun Hadis yang mengajarkan umat Islam untuk selalu bersyukur dan untuk tidak putus asa serta berkeluh kesah dalam menjalani kehidupan di muka dunia yang fana ini.
Dalam QS. Hud ayat 9, Allah swt berfirman”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim, 7)
Dalam ayat lain, Allah swt berfirman, “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih”.
Imam Baihaqi meriwaytkan bahwa Nabi bersabda, ”Iman terbagi dua, separo dalam sabar dan separo dalam syukur.”
Dalam suatu riwayat, dikisahkan bahwa ketika Imam Ali Zainal Abidin sakit, ia selalu berdoa, ”Ya Allah, aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Berkat sakitku ini, aku terhindar dari berbagai dosa, aku lebih punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga”.
Syukur atau “falsafah untung” ini merupakan salah satu kunci untuk meraih kebahagian. Seseorang yang tidak pandai bersyukur, akan sangat sulit meraih kebahagian hidup. Sebab hatinya tidak pernah puas dan selalu gelisah terhadap apapun yang diperolehnya. Ingin selalu lebih, lebih dan lebih.
Dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, nampaknya falsafah untung ini sudah mulai “luntur” dari jiwa para komponen bangsa. Banyak dari mereka sudah tertular “virus” materialisme. Materialisme menciptakan manusia-manusia yang moralnya terbatas pada masalah kebutuhan praktis belaka, yang ukuran kebaikan dan kejahatan tertingginya adalah keberhasilan materi (QS. Al-Humazah, 2-3).
Mereka yang materialist akan menjalani hidup hanya untuk memperoleh kekuasaan dan kesenangan. Apapun dilakukakannya, termasuk ”berperang” demi untuk memperoleh kekuasaan dan kesenangan. Sebagaimana sering kita lihat dan saksikan dalam pentas politik di tanah air kita. Karena segala cara dilakukan hanya untuk memproleh kekuasan, maka ketika berkuasa, apapun akan dilakukanya juga. Termasuk melakukakan praktek korupsi. Sehingga wajar kalalu korupsi tumbuh subur di negeri nusantara ini.
Begitulah akibat buruk dari hilangnya falsafah untung dalam jiwa bangsa ini. Kita tidak tahu pasti bagaimana caranya agar para koruptor bangsa ini jera dan tidak melakukan korupsi lagi. Kita juga tidak tahu bagaimana cara memperbaiki budaya korup bangsa ini. Kalau tidak tahu cara memperbaikinya, hiduplah dengan berpegang teguh pada “falsafah untung”.
Entah apa yang dipikirkan oleh seorang pejabat PNS, jika gajinya yang rata-rata 3 juta perbulan masih saja melakukan korupsi. Bukankah gajinya sudah begitu besar jika dibandingkan dengan seorang kakek penjual sapu lidi yang hanya mendapatkan Rp. 10.000, per hari. Bukankah masih untung sudah diangkat jadi PNS, karena masih banyak ratusan bahkan ribuan orang antri untuk menjadi PNS. (wallahu a’lam)