WASPADA “VIRUS” KONSUMERISME
MENJELANG LEBARAN
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
Saat ini kaum muslimin tengah menghadapi bulan Ramadhan. Bulan di mana di dalamnya diwajibkan atas orang-orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa (QS. Al-Baqarah : 183). Dalam setiap menghadapi bulan Ramadhan, umat Islam menyambutnya dengan penuh sukacita dan gembira. Betapa tidak, bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh dengan ampunan, rahmat dan barokah.
Hari-hari di bulan Ramadhan merupakan hari-hari istimewa bagi setiap pribadi muslim. Pada hari-hari Ramadhan, pribadi muslim dilatih untuk bisa menahan segala keinginan hawa nafsunya dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga pada akhir Ramadhan nanti atau idul fitri, diharapkan terbentuk pribadi muslim yang fitroh dan religius.
Tetapi dalam kenyataannya, umat Islam suka lupa akan tujuan utama dari adanya bulan Ramadhan ini. Hari-hari istimewa di bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi momen untuk berkaca diri dan menahan hawa nafsu, malah digunakan untuk memenuhi berbagai tuntutan dan keinginan diri. Sebagai contoh, kebutuhan rumah tangga dari mulai makanan, minuman, pakaian bahkan perlengkapan rumah tangga, meningkat beberapa kali lipat dari hari-hari biasa. Dengan kata lain, pada bulan Ramadhan pola konsumsi umat Islam semakin meningkat.
Terlebih lagi ketika menjelang Idul Fitri, sebagian umat Islam dihinggapi semacam ilusi dan kekhawatiran tertentu akan ketidakmampuan memenuhi tuntutan finansial yang sangat tinggi. Bagi orang-orang tertentu, kadang dihinggapi oleh perasaaan bersalah dan merasa menjadi orangtua yang gagal jika tuntutan tersebut tidak terpenuhi. Terbayang anak-anak akan bersedih jika kita tak mampu membelikan mereka baju. Atau berandai-andai betapa malunya ketika tetangga datang berkunjung, sedangkan toples dan piring-piring kosong, tidak ada sajian istimewa di hari raya.
Bahaya “Laten” Konsumerisme
Mengkonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar. Namun disadari atau tidak, masyarakat tidak hanya mengkonsumsi tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Yaitu budaya pemenuhan segala keinginan diri bukan atas dasar kebutuhan tapi atas dasar gengsi atau yang lainnya. Budaya ini menghargai orang bukan karena ilmu dan perilakunya tapi karena banyaknya uang yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi. Semakin banyak dan prestitius barang yang dibeli seseorang, semakin akan dihargai. Supaya mendapatkan penghargaan, orang rela membeli barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan atau di luar kemampuannya. Tak heran korupsi pun merajalela. Dalam budaya kita, konsumerisme akan mengakibatkan orang terjebak dalam “lebih besar pasak dari pada tiang”.
Budaya konsumerisme perlu dihindari karena berbahaya dan berekses negatif terhadap individu, masyakarat dan juga lingkungan hidup. Bagi individu, budaya ini melahirkan pemborosan. Dalam al-Qur’an, orang yang berperilaku boros atau berlebih-lebihan termasuk “partner” setan. Allah SWT sangat tidak suka terhadap orang-orang yang berperilaku boros atau berlebih-lebihan (QS. Al-A’rof : 31, Al-Isro : 26-27). Di samping mengakibatkan pemborosan, budaya ini melahirkan individu-individu yang palsu, tidak produktif dan egois.
Bagi masyarakat, budaya konsumerisme melanggengkan kemiskinanan dan juga hedonisme. Hedonisme adalah sikap yang mengukur “kebahagian” dan memicu keinginan tidak memuaskan. Penyakit-penyakit masyarakat seperti judi, prostitusi, aborsi, dan bunuh diri adalah ekses negatif dari budaya konsumtif yang berfokus pada hedonisme. Singkatnya, budaya konsumerisme mengakibatkan “hilangnya” peradaban manusia dan meluruhnya nilai-nilai kemanusian.
Bagi lingkungan hidup, budaya konsumerisme menyebabkan kerusakan alam. Barang-barang yang dibeli dan dinikmati terkadang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup. Artinya, semakin nafsu belanja kita tak terkendali, semakin rusak pula lingkungan hidup. Lihat saja bagaimana banjir yang sering melanda bangsa Indonesia. Kejadian ini mencerminkan permintaan pasar yang tinggi dan tak henti-hentinya akan barang berbahan dasar kayu. Permintaan yang tinggi tidak diimbangi dengan kesadaran dan kepedulian lingkungan yang baik sehingga keuntungan sesaat harus mengorbankan jiwa manusia. Terhadap fenomena ini, Chiras (1988) menyebutknya dengan perilaku manusia yang bermentalitas “frontier”.
Cara Menghindari Budaya Konsumerisme
Bagaimana menghindari budaya konsumerisme?. Konsumerisme sama dengan mengajarkan pemborosan. Lawan dari boros adalah hemat. Artinya, untuk melawan konsumerisme harus dengan penghematan. Hemat bukan berarti pelit. Hemat tidak akan membuat orang menderita. Jika ada orang yang berhemat terus menderita itu namanya bukan menghemat yang benar. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar kita hidup hemat dan tidak ikut larut dalam budaya konsumerisme, yaitu :
1. Berhematlah pada apa yang dianggap paling penting, walau itu berarti tampak tidak hemat dari sudut pandang lain. Berhemat artinya memaksimalkan manfaat untuk hal yang paling penting dan prioritas.
2. Carilah harga yang relatif murah untuk manfaat utama yang sama. Hemat dalam hal ini adalah berusaha mendapatkan manfaat maksimal dari biaya minimal (benefit cost ratio).
3. Jadikan “cashflow” keuangan sebagai patokan utama, jangan mengkonsumsi sesuatu di luar kemampuan dan dana.
Budaya konsumerisme jelas-jelas berbahaya. Oleh karena itu kita wajib menghindarinya. Terlebih lagi, di akhir Ramadhan ini, umat Islam akan menghadapi hari kemenangan, Idul Fitri. Yaitu hari di mana individu-individu muslim kembali kepada fitroh setelah sebulan penuh dilatih untuk mengendalikan diri. Sudah menjadi tradisi dalam setiap Idul Fitri, umat Islam merayakannya dengan penuh suka cita karena tidak boleh ada kesedihan di dalamnya. Agar terhindar dari konsumerisme dalam merayakan Idul Fitri, kiat-kiat hemat di atas bisa dipraktekkan. Wallahu’alam
note : artikel ini pernah diterbitkan di Majalah Media Pembinaan Kanwil DEPAG JAWA BARAT
edisi September 2009
betul, betul, betul. jangan berfoya-foya di atas penderitaan ......
BalasHapus