Sabtu, 23 Januari 2010

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Penyuluh Agama Islam Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan)

Tulisan ini merupakan intisari dari karya ilmiah (skripsi) saya pada jurusan tafsir hadis IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta tahun 2003. Menarik untuk dibuka lagi sehubungan perbincangan tentang poligami pada akhir-akhir ini kembali marak. Dalam kesempatan ini, penulis akan menyoroti secara ringkas perkembangan poligami dalam sejarahnya terutama dalam tradisi Islam.
Poligami berasal dari bahasa Yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan gemain yang berarti kawin/perkawinan. Jadi secara terminologi poligami merupakan pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa wanita. yang dalam bahasa Arab disebutnya dengan istilah ta’addud al-zawjat.
Praktek poligami sudah meluas dan berlaku pada bangsa sebelum Islam datang. Di antara bangsa-bangsa yang melakukan poligami adalah Arab Jahiliyah, Ibrani, Cicilia yang kemudian melahirkan sebagian penduduk yang menghuni sebagian penduduk yang menghuni negara-negara antara lain; Rusia, Polandia, Cekoslavia dan Yogaslavia (Mutahhari, 1986).
Telah banyak data dan fakta bahwa poligami ada sebelum Islam datang. Bahkan poligami telah dipraktekkan oleh negara-negara lain di luar Arab. Menurut para ahli antropologi dan sejarah kebudayaan primitif mengatakan bahwa poligami yang dilakukan oleh banyak negara oleh penduduknya dianggap sebagai sebuah tradisi. Lebih lanjut, mereka mengaskan bahwa poligami yang telah menjadi tradisi tersebut sebagai akibat dari sisa perbudakan kaum wanita, di mana orang-orang yang berkuasa dan para pemilik harta memperlakukan kaum wanita semata-mata sebagai pemuas nafsu dan pengabdi dirinya (Rasyid Ridho, 1986).
Tidaklah benar apabila dikatakan bahwa Islam-lah yang mula-mula membawa sistem poligami, sebagaimana yang dituduhkan para orientalis. Poligami hingga saat ini mengakar pada beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti bangsa asli Afrika, India, Cina dan Jepang. Juga tidak benar bahwa sistem poligami hanya berlaku di negara Islam saja (Rasyid Ridho, 1986)

Poligami dalam Tradisi Islam
Di jazirah Arab, sebelum kedatangan Islam, praktek poligami telah dikenal luas, bahkan menjadi tradisi. Selain poligami, orang-orang Arab Jahiliyah juga mempraktekkan poliandri ataupun model perkawinan lannya.
Dalam kitab Sahih Al-Bukhori diriwayatkan bahwa Aisyah telah mengatakan bahwa di tanah Arab di zaman Jahiliyah, empat macam perkawinan dipraktekkan. Pertama, adalah yang sama seperti yang berlaku sekarang, yakni seorang pria melalui ayah di wanita melamar si gadis dan setelah menetukan mahar lalu mengawininya. Kedua, nikah al-istibda yaitu seorang pria yang mengwini seorang wanita, mengoper atau menitipkan isterinya kepada pria lain selama jangka waktu tertentu dengan maksud mendapatkan anak bangsawan melalui si pria itu. Ketiga, sekelompok pria yang berjumlah kurang dari sepuluh orang melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita tertentu. Apabila si wanita hamil dan si anak dilahirkannya, wanita itu memanggil sekelompok pria yang menggaulinya itu selanjutnya wanita tersebut memilih ayah dari anak yang dilahirkanya sesuai dengan kecenderungannya. Keempat, si wanita resminya adalah pelacur. Setiap pria, tanpa terkecuali, dapat mengadakan hubungan seksual dengannya. Wanita golongan ini biasanya memasang bendera pada bubungan rumah mereka, dan dengan tanda itu mereka dapat dikenali. Apabila lahir seorang anak dari wanita ini, maka wanita ini mengumpulkan semua pria yang telah menggaulinya kemudia ahli nujum dan fisiogonomis dipanggil. Berdasarkan tanda-tanda distintif dari wajah si anak, para ahli nujum menyuarakan pandangannya mengenai anak siapakah si bayi tersebut, dan kemudian si pria yang ditunjuk wajib menerima pendapat pada ahli nujum tersebut dan memandang anak itu sebagai anaknya yang sah.
Selain keempat model perkawinan di atas, model perkawinan lainnya seperti nikah al-magtu, nikah badal, nikah al-syigar, nikah khadan, nikah bagaya, nikah al-irs dan nikah mut’ah. Kesemuanya telah banyak dipraktekkan bahkan menjadi tradisi bagi masyarakat Jahiliyah (Al-Jahrani, 1997).
Tumbuhnya praktek poligami dan model perkawinan lainnya di jazirah Arab sebelum Islam datang, merupakan akibat dari pandangan masyarakat Arab Jahiliyah terhadap perempuan. Bagi mereka perempuan dianggap sebagai mahluk kedua, maka tak heran jika terjadi penindasan, eksploitasi ataupun tekanan-tekanan sosial lainnya terhadap perempuan.
Setelah datangnya Islam ke jazirah Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, bentuk-bentuk perkawinan yang ada pada masa Jahiliyah oleh Islam dihapuskan dan dilarang. Adapun bentuk perkawinan poligami, Islam tidak menghapusnya secara radikal tetapi secara gradual. Yaitu dengan cara memberikan batasan mengenai jumlah isteri maksimal empat bagi seorang suami yang berpoligami (QS. Al-Nisa: 3). Di samping itu, Islam mengaharuskan berbuat adil bagi suami yang melakukan poligami. Batasan-batasan yang diberikan Islam terhadap praktek poligami merupakan usaha perlindungan terhadap perempuan dalam konteks hukum, sosial atau sopan santun.
Dalam konteksnya pada waktu itu, pembatasan poligami tidak dirancang untuk memenuhi hasrat seks kaum laki-laki, tetapi merupakan sebuah legislasi sosial. Banyaknya anak yatim dan juga kematian tentara Muslim dalam perang Uhud telah meninggalkan janda-janda, anak-anak perempuan, dan saudara-saudara perempuan yang kesemuanya memerlukan perlindungan. Oleh karena itu Nabi memberikan jalan poligami sebagai cara memberikan perlindungan terhadap mereka. Cara tersebut akan memungkinkan semua perempuan yatim untuk menikah, dan menekankan bahwa seorang laki-laki hanya dapat bersiteri lebih dari satu jika dia berjanji untuk mengurus mereka dan hartanya secara adil (Karen Amstrong, 2001).
Bagaimana dengan poligami yang dilakukan Nabi?. Sebagaimana diketahui Nabi menikahi sebelas isteri dalam waktu yang berbeda. Di sisi lain, Nabi pernah menikahi sembilan isteri dalam waktu bersamaan. Sekilas adanya kesan telah terjadi perbedaaan hukum di antara Nabi dan umatnya. Padahal kalau dicermati perbuatan Nabi dengan menikahi isteri-isterinya bukan untuk kebutuhan biologis tapi untuk tujuan perlindungan. Terbukti isteri-siteri yang dinikahi Nabi kebanyakan sudah janda dan secara ekonomis tidak menguntungkan.
Di samping itu, Nabi melakukan praktek poligami semata-mata karena ketidakberdayaan Beliau atas kehendak Allah SAW. Bahkan dalam sebuah hadis, Nabi sering berdoa terhadap ketidakberdayaan Beliau atas perlakuan adil terhadap isteri-isterinya. Doa tersebut yaitu: “ya Allah inilah keadilanku yang aku miliki janganlah Engkau bebankan sesuatu yang tidak aku miliki (Sunan Abu dawud).

Poligami Pada Masa Sekarang
Turunnya QS. Al-Nisa : 3 dan adanya beberapa Hadis yang menunjukan kebolehan bagi para sahabat untuk “hanya” memiliki empat orang isteri, dan meninggalkan kebiasaan mereka yang memperisteri lebih dari empat orang. Hal ini merupakan bukti bahwa syariat Islam tentang masalah poligami diturunkan secara gradual mengingat masyarakat Arab mempunyai tradisi sendiri kaitannya dengan masalah ini. Di samping itu, turunnya QS. Al-Nisa ayat 3 tersebut sebagai respon sosiologis dan antropologis al-Qur’an terhadap masyarakat pada masa itu. Oleh karena itu bilangan empat jangan diartikan sebagai batasan maksimal untuk masa sekarang, tetapi batasan tersebut untuk masa lampau.
Dalam kenyataannya, sampai saat ini poligami terus menjadi satu kebiasaan karena didukung oleh adanya ideologi yang telah lama menggejala di masyarakat Islam. Kebolehan poligami yang didukung oleh al-Qur’an dan Hadis Nabi kurang didukung oleh pemahaman yang komprehensif terhadap konteks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis itu sendiri, sehingga terjadi generalisasi terhadap kebolehan perkawinan poligami.
Setelah perkembangan sosial semakin hari semakin kompleks. Keabsahan poligami mulai dipertanyakan kembali oleh sebagian masyarakat. Seiring dengan berubahnya relasi laki-laki dan perempuan, poligami inipun secara resmi kenegaraan diatur bahkan ada yang dilarang. Sebagaimana yang terjadi di Turki (1917), Mesir (1920), Suriah (1953), tunisia (1956), Irak (1959) Yaman Selatan (1974). Hanya saja, dengan adanya skripturalis Islam kembali mementahkan usaha ini (Suryadilaga, 2002).
Bagaimana dengan keberadaan hukum di Indonesia kaitannya dengan masalah poligami ?. Di Indonesia, sebelum adanya Undang-Undang perkawinan, persoalam poligami telah marak dibicarakan. Walaupun pada akhirnya monogami ditetapkan sebagai asas perkawinan. Dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diizinkan bagi suami bersiteri lebih dari satu Tentu saja dengan beberapa persyaratan dan persetujuan dari Pengadilan Agama. Persyaratan tersebut berdasarkan pasal 4 ayat 2 UU no. 1 tahun 1974 adalah isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu, dalam pasal 5 disebutkan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan berpoligami. Pertama, adanya persyaratan dari isteri/isteriisteri, kedua, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan sehari-hari isteri dan anak-anak, ketiga, mampu berbuat adil terhadap anak-anak dan isteri-isterinya.
Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ketentuan dan persyaratan untuk berpoligami dipertegas dan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Bagi masyarakat Muslim, ketentuan dan persyaratan poligami diatur dalam KMA RI Nomor 154 tahun 1991.
Apa yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan hukum di Indonesia mengenai kebolehan poligami, pada dasarnya ditujukan untuk melindungi perempuan dari tindakan poligami yang sewenang-wenang. Di samping sebagai upaya meminimalisir kemungkinan poligami.

Kesimpulan
Setelah menjelaskan asal-usul perkembangan sejarah poligami. Dapat diketahui bahwa poligami dalam perspektif historis merupakan kebiasaaan yang ada dalam masyarakat. Walaupun dalam realitanya poligami mengalami pergeseran-pergeseran, hal ini sesuai dengan kondisi sosiologis dan antropologis yang menyertainya.
Dalam sejarah Islam, sebelum Islam datang praktek perkawinan poligami suatu hal yang biasa dilakukan. Setelah Islam datang, secara gradual kebiasaan tersebut diperketat dengan adanya batasan jumlah maksimal empat orang isteri dan kemampuan berbuat adil bagi suami. Saat ini, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, yang meniscayakan adanya relasi laki-laki dan perempuan, poligami mulai dipertanyakan kembali keabsahannya. Wallahu a’lam


Kuningan, 11 Desember 2006
Penulis,




Asep Nurdin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar