RAMADHAN DAN KAMOFLASE UMAT
Oleh : Hidayat Muttaqin
(Penyuluh Agama Islam Kec. Cibingbin)
Seakan sudah menjadi sebuah kesepakatan umum jika bulan Ramadhan adalah bulan dimana umat Islam harus bersibuk-sibuk ria dalam menyambut dan memeriahkannya dalam berbagai bentuk. Hampir semua aspek terkait kehidupan manusia terutama umat Islam dikaitkan dengan Ramadhan. Betapa tidak, seseorang bisa berbulan-bulan hidup dinegeri orang hanya untuk mencari penghidupan dan untuk kembali pada bulan Ramadhan dengan budaya mudiknya dihari Raya idul fitri untuk berkumpul dengan keluarga, bercengkrama dengan tetangga seraya menikmati hasil jerih payah selama berbulan-bulan, memang terkesan ritualistic. Begitu pula kesibukan terjadi diberbagai tempat seperti pasar yang pada bulan ini omzetnya naik dengan begitu drastis, jalan-jalan penuh dengan orang yang hilir mudik mempersiapkan makanan untuk sekedar berbuka, mal-mal penuh dengan orang-orang yang berbelanja keperluan lebaran, para pekerja, karyawan, pegawai, bisnisman, pengusaha, buruh, petani, nelayan, pedagang, pelajar, mahasiswa dan lain-lain sibuk mengadakan kegiatan buka bersama serta seabrek kemeriahan lain yang semuanya bermuara pada hasrat umat untuk ikut serta mengisi bulan ini dengan berbagai macam ibadah atau hanya sekedar untuk memeriahkannya semata.
Tampak jelas di bulan ini kemeriahan umat dalam beribadah dan peningkatan kegiatan ritual keagamaan yang signifikan. Masjid selalu penuh tatkala malam tiba indikasi umat akan hausnya pahala, kotak amal seakan sesak dengan jejalan sedekah, pengajian dan kultum dimana-mana dengan berbagai tema dan kemasan dalam rangka mengisi hati dengan ilmu dan hikmah, tadarus berkumandang disana-sini melantunkan ayat-ayat suci penyejuk hati, sekolah dan kampus ramai dengan kegiatan pesantren kilatnya, panti asuhan padat dengan kunjungan pihak-pihak yang akan memberi santunan, bakti social terjadi di berbagai tempat. Tidak hanya itu, berbagai media juga turut serta dalam kemeriahan ini. Acara-acara media disulap menjadi begitu Islami, berbagai stasiun televisi berlomba-lomba dengan tayangannya seolah ingin menghipnotis pemirsanya dengan acara-acara Islami yang begitu menarik dengan menayangkan artis dan da’i yang marketable sebagai icon, begitu juga dengan media cetak dengan bahasa-bahasanya yang begitu menggugah seseorang untuk senantiasa beramal shaleh. Selain itu ramadhan mampu mengerem perilaku negatif umat islam sehingga pada bulan ini perilaku dosa dan maksiat baik besar mapun kecil dianggap tabu di bulan ini. Banyak ungkapan larangan seperti : “hei kamu! Ini bulan puasa jangan bohong lho,” atau “tolonglah, inikan bulan puasa, jangan mabok, jangan ini, jangan itu dan lain sebagainya. Meski tak semuanya patuh, tetapi cenderung efektif membendung perilaku negatif.
Entah apa yang menjadi magnet kuat Ramadhan ini, apakah karena memang bulan ini adalah bulan penuh berkah? Bulan dimana umat Islam khususnya berkesempatan mendulang pahala yang amat sangat besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendapatkan ampunan dari berbagai dosa dan kesalahan? Ataukah bulan dimana seseorang bisa mendapatkan simpati dari orang lain, bulan dimana seorang publik figur bisa mendongkrak popularitas, bulan dimana politisi bisa meraih dukungan dan simpati rakyat, bulan dimana para penguasa membangun kredibilitas ataukah bulan dimana para pengusaha dan bisnisman bisa meraup keuntungan materil yang jumlahnya tidak sedikit? Jawabannya tentu saja bisa variatif, tergantung dari niat masing-masing personal.
Tidak keliru memang ketika semua hal di atas terjadi, semua itu semata-mata gambaran dari manifestasi rahmat Allah yang begitu besar dan luas impactnya terhadap umat tidak hanya Islam, tetapi juga umat agama lain turut merasakan akan rahmat Allah pada bulan ini. Akan tetapi sejatinya tidak hanya itu, Ramadhan ridak hanya dipenuhi dengan ritual kegiatan, kesibukan dan kemeriahan yang bersifat verbalistik saja, Ramadhan juga memiliki tujuan tersendiri yang lebih penting dibanding hal-hal di atas yaitu peningkatan kualitas individu terkait keimanan dan ketaqwaan yang sifatnya lebih permanen dan tidak temporal, pemahaman terhadap Islam yang lebih universal juga terwujudnya insan yang berakhlaqul karimah dan matang secara emosional.
Sudahkah hal itu terjadi? Banyak diantara umat Islam yang sudah bertahun-tahun melewati bulan ini akan tetapi tidak ada efek yang positif dan signifikan terhadap kesalehan individu dan sosialnya. Mengapa demikian? Karena selama ini mayoritas umat Islam hanya melakukan kamoflase semata, bulan yang semestinya menjadi bulan pelatihan dan pendidikan mental umat agar benar benar siap jika nantinya akan berhadapan dengan sebelas bulan lainnya, malah menjadi bulan yang menjadi ajang kamoflase mayoritas umat demi keuntungan pragmatis semata. Betapa tidak, pada bulan ini seakan berbagai pihak ingin menunjukkan seolah dirinya soleh dengan mengisi hari-harinya dengan berbagai ritual ibadah. Seseorang melakukan ibadah hanya karena ikut-ikutan dan malu dengan tetangganya, para pengusaha, bisnisman, seniman, politisi gencar melakukan kebaikan demi menuai omzet yang besar, popularitas di depan public. Akan tetapi pasca Ramadhan apa yang terjadi? mayoritas umat kembali ke habitat awalnya, masjid kembali sepi, kotak amal kembali gemerincing, tiada lagi tadarus berkumandang, tiada lagi kultum dan mau’idzah hasanah, tiada lagi kepekaan dalam bentuk sedekah dan santunan, tiada lagi media yang gencar berda’wah, tiada lagi pengusaha, bisnisman, artis, politisi yang hilir mudik mengisi kegiatan dengan berbagai aktivitas social keagamaan dan banyak aspek keagamaan lain yang akhirnya kembali terabaikan dan seakan menjadi tidak penting dilakukan diluar bulan Ramadhan. Perilaku yang semula dianggap tabu kembali marak diluar bulan ramadhan seakan perilaku negatif tersebut legal-legal saja, sungguh ironis.
Sebetulnya apa penyebab disorientasi ramadhan ini? Jawabannya adalah karena adanya pengabaian terhadap nilai-nilai yang telah ditentukan dalam konstitusi Islam baik Al Quran maupun Hadits. Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya “barang siapa beribadah dibulan Ramadhan dengan dasar keimanan dan keikhlasan maka dosa-dosanya akan diampuni, (Al Hadits). Berdasarkan hadits tersebut ternyata disorientasi puasa disebabkan karena minimnya landasan keimanan dan keikhlasan dalam setiap proses ibadah dan apapun kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan. Landasan keimanan dalam arti keyakinan yang teguh disertai harmonisasi hati, ucapan dan tindakan dalam setiap pengamalan ibadah, serta landasan keikhlasan dalam arti menyandarkan setiap amaliah hanya kepada Allah SWT bukan yang lain. Bukan karena tetangga, teman, materi, popularitas dan hal lain yang bisa mengotori murninya hati.
Sebuah keniscayaan jika setiap insan menginginkan peningkatan kualitas hidup dalam berbagai aspek salah satunya keimanan dan ketaqwaan. Oleh karena itu, kesia-siaan tidak boleh terulang kembali, berlalunya ramadhan harus disertai dengan perubahan perilaku dalam berbagai aspek kehidupan yang ditandai dengan amal soleh disebelas bulan lainnya guna menggapai ridho Ilahi. Amiin.
Minggu, 24 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar