Rabu, 06 April 2011

FALSAFAH UNTUNG

FALSAFAH UNTUNG
Oleh : Asep Nurdin

Di suatu hari di persimpangan jalan, saya mendapati seorang kakek sedang berjualan sapu lidi, sambil berjalan kaki, kakek itu membawa sapu lidinya dengan satu tangan kanannya karena memang tangan kirinya kelihatan tidak ada alias “buntung”. Pada saat itu, mungkin hampir semua mata tertuju kepadanya termasuk saya. Karena rasa iba dan penasaran saya menghampirinya dan mengajaknya untuk duduk istirahat sambil bercengkrama., Dari obrolan kami tersebut, yang paling menarik perhatian saya adalah tentang filofofi hidupnya yang sederhana. Menurutnya, penghasilannya dari penjualan sapu lidi hanyalah untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Sekecil apapun penghasilan yang diperolehnya setiap hari, ia selalu mengucapkan al-hamdulillah.. Dikatakannya, dengan kondisi catat fisik yang diterimanya, tidak menyurutkan semangatnya untuk bergerak dan mencari rezeki yang halal. Perkataan halal ini diulanginya berkali-kali, mungkin ia tahu sebagian masyarakat sudah tidak hirau lagi dengan masalah halal dan haram. Asal dapat, tidak peduli dari mana sumbernya.

Dari kisah di atas, kita tahu dan sadar bahwa manusia seperti kakek di atas adalah tipe manusia yang penuh tawakal dan qona’ah dalam mencari rezeki. Dengan keterbatasan fisik, tidak membuatnya menggerutu dan berkeluh kesah, malah sebaliknya tetap semangat dan ceria menjalani hidup dan kehidupannya. Dia selalu bersyukur, Allah masih memberikannya satu tangan, karena tidak sedikit orang yang kehilangan kedua tangannya bahkan kedua kakinya.
Dalam kearifan jawa, prinsip hidup sang kakek disitilahkan dengan “falsafah untung” (meminjam isitilah Kang Jalal). Falsafah untung merupakan prinsip hidup masyarakat jawa tatkala menghadapi cobaan hidup. Dalam tradisi masyarakat Jawa, sebesar apapun cobaan yang menimpa hidup ini selalu dihadapi dengan perkataan, ”masih untung...” atau “untung keneh…” kalau kata orang sunda mah.
Falsafah untung ini kalau dalam istilah psikologi disebut dengan gejala half full yaitu mensyukuri terhadap apa yang masih ada dan terisisa. Keduanya mengajarkan untuk tetap bersyukur dan optimis terhadap apapun yang terjadi.
Dalam bukunya Tafsir Kebahagian, Jalaludin Rahmat (2010) memberikan sebuah kisah yang berkaitan dengan gejala half full ini. Dikisahkan, ada seorang filosof dan penyair Iran bernama Saidi hendak mendirikan shalat di Masjid Bani Umayah di Damaskus. Selesai shalat, ia melihat sepatunya sudah tidak ada lagi. Ia menggerutu, meratapi sepatunya yang hilang. Hatinya menyalahkan setiap orang yang ada. Ia berbisik, di tempat ibadah kok malah terjadi pencurian.
Saidi lalu kembali ke dalam Masjid, hendak mananyakan barangkali ada yang tahu di mana sepatunya berada. Belum lagi sempat bertanya, ia melihat orang tua dengan senyum selalu terkulum di wajahnya, menyemberutkan bahagia dihatinya. Yang membuat Saidi tertegun adalah ternyata orangtua itu cacat, kehilangan kedua kakinya. Saidi lantas merenung, bagaimana bisa aku menggerutu hanya kerena kehilangan sepatu, sementara wajah orang itu memancarkan bahagia meski kedua kakinya telah tiada.
Falsafah untung ini tentu saja selaras dengan nilai-nilai Islam. Banyak ayat al-Qur’an maupun Hadis yang mengajarkan umat Islam untuk selalu bersyukur dan untuk tidak putus asa serta berkeluh kesah dalam menjalani kehidupan di muka dunia yang fana ini.
Dalam QS. Hud ayat 9, Allah swt berfirman”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim, 7)
Dalam ayat lain, Allah swt berfirman, “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih”.
Imam Baihaqi meriwaytkan bahwa Nabi bersabda, ”Iman terbagi dua, separo dalam sabar dan separo dalam syukur.”
Dalam suatu riwayat, dikisahkan bahwa ketika Imam Ali Zainal Abidin sakit, ia selalu berdoa, ”Ya Allah, aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Berkat sakitku ini, aku terhindar dari berbagai dosa, aku lebih punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga”.
Syukur atau “falsafah untung” ini merupakan salah satu kunci untuk meraih kebahagian. Seseorang yang tidak pandai bersyukur, akan sangat sulit meraih kebahagian hidup. Sebab hatinya tidak pernah puas dan selalu gelisah terhadap apapun yang diperolehnya. Ingin selalu lebih, lebih dan lebih.
Dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, nampaknya falsafah untung ini sudah mulai “luntur” dari jiwa para komponen bangsa. Banyak dari mereka sudah tertular “virus” materialisme. Materialisme menciptakan manusia-manusia yang moralnya terbatas pada masalah kebutuhan praktis belaka, yang ukuran kebaikan dan kejahatan tertingginya adalah keberhasilan materi (QS. Al-Humazah, 2-3).
Mereka yang materialist akan menjalani hidup hanya untuk memperoleh kekuasaan dan kesenangan. Apapun dilakukakannya, termasuk ”berperang” demi untuk memperoleh kekuasaan dan kesenangan. Sebagaimana sering kita lihat dan saksikan dalam pentas politik di tanah air kita. Karena segala cara dilakukan hanya untuk memproleh kekuasan, maka ketika berkuasa, apapun akan dilakukanya juga. Termasuk melakukakan praktek korupsi. Sehingga wajar kalalu korupsi tumbuh subur di negeri nusantara ini.
Begitulah akibat buruk dari hilangnya falsafah untung dalam jiwa bangsa ini. Kita tidak tahu pasti bagaimana caranya agar para koruptor bangsa ini jera dan tidak melakukan korupsi lagi. Kita juga tidak tahu bagaimana cara memperbaiki budaya korup bangsa ini. Kalau tidak tahu cara memperbaikinya, hiduplah dengan berpegang teguh pada “falsafah untung”.
Entah apa yang dipikirkan oleh seorang pejabat PNS, jika gajinya yang rata-rata 3 juta perbulan masih saja melakukan korupsi. Bukankah gajinya sudah begitu besar jika dibandingkan dengan seorang kakek penjual sapu lidi yang hanya mendapatkan Rp. 10.000, per hari. Bukankah masih untung sudah diangkat jadi PNS, karena masih banyak ratusan bahkan ribuan orang antri untuk menjadi PNS. (wallahu a’lam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar