JABATAN ADALAH AMANAH
(Kenapa orang ambisius menginginkannya?)
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
Seorang teman bercerita kepada saya mengenai ayahnya yang sudah pensiun dari kepala sekolah di usianya yang ke-54 tahun. Usia yang sebenarnya belum waktunya untuk pensiun, karena sesuai dengan peraturan yang berlaku, masa usia pensiun seorang kepala sekolah bisa sampai usia 60 tahun. Menurutnya, ayahnya itu sebenarnya baru menjabat sebagai kepala sekolah sejak 2 tahun yang lalu, namun dengan alasan tertentu, ayahnya mengajukan diri untuk pensiun dini.
Kemudian teman saya bercerita,“Dulu, ayah saya iu adalah salah seorang yang disegani di sekolah tersebut. Kata teman-temannya, ayah saya di samping sebagai guru senior, beliau juga seorang guru yang terkenal jujur dan berwibawa. Mungkin karena unsur itulah, ayah saya sering ditawarin untuk menjadi kepala sekolah. Namun setiap tawaran itu datang, ayah saya menolaknya dengan alasan tidak berminat. Namun, pada suatu waktu, tanpa ada tawaran terlebih dahulu, surat keputusan (SK) menjadi kepala sekolah diterimanya secara tiba-tiba. Sehingga mau tidak mau, ayah saya harus menerima SK menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah. Singkatnya, di awal karirnya menjadi kepala sekolah, ayah saya sering dihadapkan pada suatu perintah atau kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Namun, karena sistemnya menuntut seperti itu, ayah saya harus tetap menjalankan kebijakan tersebut walaupun batinnya merasa tertekan dan berontak. Atas dasar itulah, sehigga ayah saya memutuskan untuk pensiun dini dari kepala sekolah demi menjaga ketenangan dan ketentraman batinnya”.
Kisah nyata di atas menggambarkan tentang seorang pejabat yang selalu resah hatinya karena jabatannya. Sehingga dia lebih memilih mundur dari jabatannya daripada tetap menjadi pejabat namun tidak mampu berbuat jujur dan terpercaya (amanah).
Di zaman materialistis seperti sekarang ini, mungkin kisah di atas merupakan kisah langka yang hanya terjadi 1 : 100 atau mungkin 1 : 1000 dari seluruh pejabat yang ada. Karena dalam kenyataannya, jabatan bagi sebagian besar orang adalah sesuatu yang diidam-idamkan. Sehingga ketika jabatan itu diraihnya, dia akan merasa senang dan gembira. Pelbagai “pestapun” digelarnya untuk mengungkapkan rasa senang atas diraihnya jabatan tersebut. Setelah menjabat, dia akan tetap berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya sambil berusaha “sikut kiri sikut kanan” untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.
Yang menjadi pertanyaan dan renungan kita semua, apakah jabatan itu suatu kenikmatan atau suatu amanah? Layakkah kita senang mendapatkan jabatan itu? Ataukah malah sedih atau takut?
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Abu Dzar bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, ”Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberiku jabatan?” Kemudian Rasulullah menepuk pundak Abu Dzar, lalu beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau itu lemah, sedangkan jabatan itu amanah, dan jabatan itu akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang memperolehnya dengan benar dan melaksanakan kewajiban yang diembankan kepadanya.”
Begitu beratnya memangku sebuah jabatan, ketika Umar Ibnu Al-Khatab diangkat menjadi khalifah, beliau mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, kemdian ditanya oleh sahabat yang lain, mengapa kalimat itu yang pertama kali terlontar dari mulut beliau, beliau mengatakan bahwa jabatan itu amanah dan harus dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah SWT.
Islam memandang jabatan sebagai sebuah amanah. Pengertian amanah bukan sebatas memelihara barang titipan, sebagaimana pandangan kebanyakan orang. Namun amanah dalam pengertiannya yang luas adalah setiap orang yang mampu merasakan bahwa Allah swt senantiasa menyertainya dalam setiap urusan yang dibebani kepadanya, dan setiap orang memahami dengan penuh keyakinan bahwa kelak ia akan dimintakan pertanggung jawaban atas urusan tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw :
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang laki-laki adal pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dalam memelihara harta tuannya dan ia akan ditanya pula tentang kepemimpinannya”, (HR Imam Bukhori).
Tidak semua orang mau dan mampu memegang amanat, oleh karena itu jarang sekali orang secara sukarela diberi amanat oleh orang lain. Namun berbeda dengan jabatan. Walaupun jabatan adalah amanah, namun banyak orang yang berambisi untuk menjadi pejabat. Mereka rela melakukan “apa saja” hanya untuk meraih dan menduduki sebuah jabatan. Kenapa bisa demikian?. Jawabannya mungkin karena jabatan sebagai “ladang basah” yang dapat menghasilkan uang dan prestise.
Ungkapan "right man in the right place" sudah tidak berlaku lagi, karena pengangkatan seorang menjadi pejabat terkadang tidak melihat lagi kemampuan dan profesionalitasnya, tapi lebih cenderung kepada faktor suka atau tidak suka.
Dalam hadis Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli daripadanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (HR al-Hakim)
Sebagai muslim, kita tentu berharap lahirnya para pejabat atau pemimpin yang amanah. Pejabat yang mampu membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya, dan mampu serta berani “berkata TIDAK untuk korupsi”.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk meminta-minta jabatan. Akan tetapi apabila diberi kesempatan untuk memangku sebuah jabatan atas dasar kompetensi dan keahlian, maka terimalah dan jadilah pejabat yang amanah dan bertanggunjawab. Namun apabila merasa tidak kompeten dan ahli di bidangnya, janganlah menerima jabatan apapun yang ditawarkan. Wallahu a’lam
Rabu, 06 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar