Senin, 07 Desember 2009

artikel : ISLAM DAN CITA-CITA KEMERDEKAAN

ISLAM DAN CITA-CITA KEMERDEKAAN
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd*

Kemerdekaan atau kebebasan dalam bahasa Arab disebut dengan al hurriyyah. Kata al hurr disebut satu kali dalam surah al Baqarah ayat 178. Dari kata ini terbentuk kata al-tahrir yang berarti pembebasan. Al-Qur’an menyebut kata ini dalam surah al-Nisa ayat 92, al-Maidah ayat 89 dan al-Mujadilah ayat 3. Semuanya menekankan pembebasan budak (tahrir al raqabah). Adapun menurut al-Raghib al-Ishfahani, kata al-hurr mengandung dua arti, pertama adalah lawan dari budak dan kedua orang yang tidak dikuasai oleh sifat-sifat yang buruk dalam hal urusan duniawi. Jadi kemerdekaan bukan saja bersifat fisik tapi juga non fisik (Husein Muhammad).
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kemerdekaan. Dalam Islam kemerdekaan adalah sesuatu yang hakiki dan bersifat fitrah. Setiap manusia yang baru dilahirkan, dengan sendirinya dalam keadaan merdeka. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menjadikannya budak. Jadi, kemerdekaan dalam kacamata Islam adalah sesuatu yang untuk meraihnya, orang tidak harus dengan “berani mati” tapi sebuah anugerah dari sang Pencipta (Prof. Marcel A. Boisard).
Prinsip yang menjadi dasar kemerdekaan dalam Islam adalah tauhid, yaitu percaya tidak ada Tuhan selain Allah. Dari prinsip ini membawa manusia kepada asas-asas persamaan (equality), persaudaraan (brotherhood) dan kebebasan (freedom). Dengan begitu kemerdekaan manusia pada hakikatnya adalah konsekuensi paling logis dari ajaran atau doktrin teologi Islam (Prof. Ahmad Rofiq)
Kemerdekaan dalam Islam adalah kemerdekaan yang bertanggung jawab. Artinya, beragam kemerdekaan yang diperoleh manusia tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Dengan kata lain tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan, pengekangan dan perendahan adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri dan dengan sendirinya juga melanggar prinsip Tauhid. Dari sinilah, maka setiap orang dituntut harus saling memberikan perlindungan, rasa aman dan penghormatan dari kemerdekaan yang dimilikinya itu (Husein Muhammad).
Keadaan seperti di atas, telah dipraktekan Nabi ketika menjadi khalifah di Madinah. Masyarakat Madinah yang terkenal dengan masyarakat yang majemuk, berbagai suku, agama dan keyakinan hidup di sana. Namun demikian Nabi tetap menjamin kemedekaan atas mereka, hal dapat ini dapat dilihat dalam salah satu butir Piagam Madinah (622 H) yang menyatakan bahwa : “orang Islam, Yahudi dan warga Madinah yang lain, bebas memeluk agama dan keyakinan mereka masing-masing. Mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah, tidak seorangpun dibenarkan mencampuri urusan agama orang lain. Orang yahudi yang mendatangani piagam ini berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan serta tidak diperlakukan dholim. Orang Yahudi bagi orang Yahudi dan orang Islam bagi orang Islam. Jika di antara mereka berbuat zolim, itu akan menyengsarakan diri dan keluarganya, setiap bentuk penindasan dilarang. Mereka sama-sama wajib mempertahankan negerinya dari serangan musuh.” (Husein Muhammad)
Kondisi kehidupan masyarakat Madinah bisa dibilang sebuah maysarakat yang ideal. Dengan kebhinekaannya mampu hidup seiya sekata sehingga hidup aman dan damai. Nampaknya kehidupan Madinah pada waktu itu menginspirasi para pemimpin bangsa Indonesia untuk mencontoh dan meniru pola kehidupan masyarakat Madinah pada waktu itu, yang kemudian lahirlah jargon “masyarakat madani”.
Membentuk masyarakat Madani pada hakikatnya bagaimana kita hidup dengan sesuai dengan apa yang dicita-citakan Islam. Al-Ghazali (w 505 H/1111M) mengatakan bahwa cita-cita Islam adalah terwujudnya kebaikan manusia yang menyeluruh dan terhapuskannya situasi yang buruk. Untuk mewujudkan hak tersebut harus memperhatikan lima aspek :
1.      Keyakinan agama dan kepercayaan, tak seorangpun boleh memaksanya atu menindas hanya karena keyakinan, agama dan kepercayaannya.
2.      Perlindungan terhadap jiwa, tidak seorangpun yang boleh melukai, membunuh dan  melakukan kekerasan terhadap orang lain
3.      Perlindungan terhadap akal pikiran, tidak boleh ada pemasungan dan penjagalan terhadap pendapat orang lain
4.      Perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan, tidak boleh ada perkosaan, pelacuran pelecehan atau eksploitasi terhadap perempuan
5.      Perlindungan terhadap hak milik pribadi maupun masyarakat, sehingga tidak boleh terjadi adanya perampasan terhadap hak milik pribadi, korupsi, penyelewengan, penggelapan, penggusuran, perusakan lingkungan danm alam serta elsploitasi haram lainnya oleh siapapiun individu, masyarakatnya maupun intitusi negara.
Secara normatif, apa yang tertulis dalam piagam Madinah ataupun lima prinsip kemausiaannya Al-Ghazali tentang prinsip dan cita-cita kemerdekaan sudah tertuang dalam UUD 1945, dan peraturan perundangan lainnya. Dengan demikian, bangsa ini sudah mempunyai modal dasar untuk meraih cita-cita kemerdekaannya. Namun persoalannya, apakah modal dasar tersebut telah dilaksanakan sebagaimana mestinya?. 
Melihat reaitas yang terjadi, sepertinya apa yang diamanatkan oleh Undang-undang belum sepenuhnya dilaksanakan oleh bangsa ini. Kehidupan yang aman, damai dan sejahtera yang dicita-citakan segenap rakyat Indonesia semakin hari semakin terbelenggu oleh sederetan bencana alam, penyakit, kemiskinan, korupsi, pendidikan rendah, pengangguran, dan tiadanya pemerataan kesejahteraan.
Kondisi seperti itu menunjukan bahwa kemerdekaan yang diangggap hakiki belum didapatkan oleh negeri ini. Kemerdekaan yang hakiki sesungguhnya adalah kemerdekaan yang menghargai dan mengangkat harkat derajat hidup manusia, yaitu konsep kemerdekaan  jiwa dan pikiran sebagaimana diberikan oleh Islam (QS. al-Balad :13).
Kemerdekaan jiwa artinya kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan diri (hawa nafsu). Dan hawa nafsu inilah musuh paling besar bangsa ini, bahkan manusia pada umumnya (Hadis). Manusia yang menjadi budak hawa nafsunya, dia selalu berfantasi untuk menjadi kaya dan berkuasa. Sehingga dia hidup dalam ”cara pikir kapitalis” amat rawan dan rapuh untuk tergoda menghancurkan jatidiri, bangsa bahkan agamanya.
Sudah saatnya kita bangkit dan “berani mati” untuk memerdekan diri dari segala bentuk cengkraman pola pikir negatif, budaya judi, korupsi, dan basa-basi obral janji yang semakin hari semakin mengimpit kemerdekaan hati. Mungkin inilah salah satu problem solving yang harus segera dilakukan oleh bangsa tercinta ini agar hidup aman, damai dan sejahtera. (dari berbagai sumber).

Kuningan, JUNI 2007
Penulis,


Asep Nurdin


* Penyuluh Agama Islam Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar