Senin, 07 Desember 2009

artikel : KEMERDEKAAN DAN KEDAMAIAN DALAM ISLAM

KEMERDEKAAN DAN KEDAMAIAN DALAM ISLAM
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Penyuluh Agama Islam Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan)

Menjelang HUT Republik Indonesia yang ke-63, bangsa ini masih menyisakan berbagai persoalan yang tak kunjung selesai. Salah satunya adalah premanisme atau budaya kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Premanisme ini telah merasuki kesadaran para pemimpin bangsa dan menjalar di tengah masyarakat sehingga kita menjadi bangsa yang melanggar budaya ramah dan sopan. Akibatnya kehidupan masyarakat selalu dihantui perasaan tidak aman dan damai. Lalu apa artinya kemederkaan, kalau rakyatnya hidup jauh dari kedamaian ?. Berikut ini penulis mencoba memaparkan hakikat kemerdekaan dan kedamaian dalam Islam.
Dalam Islam, kemerdekaan diambil dari bahasa Arab al-hurriyyah. Dari kata ini terbentuk kata al-tahrir yang berarti pembebasan. Menurut al-Raghib al-Ishfahani, kata al-hurr mengandung dua arti, pertama adalah lawan dari budak dan kedua orang yang tidak dikuasai oleh sifat-sifat yang buruk dalam hal urusan duniawi. Jadi, menurut beliau kemerdekaan bukan saja bersifat fisik tapi juga non fisik (Husein Muhammad).
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kemerdekaan. Dalam Islam kemerdekaan adalah sesuatu yang hakiki dan bersifat fitrah. Setiap manusia yang baru dilahirkan, dengan sendirinya dalam keadaan merdeka.
Kemerdekaan dalam Islam adalah kemerdekaan yang bertanggung jawab. Artinya, beragam kemerdekaan yang diperoleh manusia tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Dengan kata lain tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan, pengekangan dan perendahan adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri. Dari sinilah, maka setiap orang dituntut harus saling memberikan kedamaian, perlindungan, rasa aman dan penghormatan dari kemerdekaan yang dimilikinya itu (Husein Muhammad).
Jadi, kemerdekaan pada hakikatnya akan melahirkan kedamaian. Kemerdekaan dan kedamaian seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di mana ada kemerdekaan, di sana ada kedamaian. Seseorang yang merdeka berarti dia berhak hidup aman dan damai jauh dari tekanan, ancaman dan juga kekerasan.
Islam adalah agama yang membawa misi rahmatanllil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Islam itu sendiri dari segi etimology, terminolgy dan ideologi berati perdamaian. Dari ajaran-ajarannya yang sederhana misalnya; umat Islam dianjurkan untuk memberi salam pada sesama. Menjaga persaudaraan dan menolong sesama. Bahkan seorang mukmin belum dikatakan sempurna imannya sebelum mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Begitu mulia ajaran Islam yang memang menjadikan kedamaian bukan janji semu semata. Allah SWT berfirman :
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat : 13).

Dengan menetapkan asal manusia yang satu, berarti setiap orang di muka bumi ini memiliki pertalian. ”Adam, moyang kamu sekalian, dulunya dijadikan dari tanah”, demikian sabda Nabi Muhammad saw. Atas dasar inilah Islam menolak pengkotak-kotakan dan diskrimansi di antara manusia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat, adanya persekutuan, penolakan dan pencampuradukan berbagai ambisi, nafsu dan kepentingan merupakan hal lumrah. Namun Islam mengajarkan bahwa dalam masyarakat, hubungan hendaknya didasari oleh rasa bersahabat, kasih dan gotong royong dengan tujuan agar kemanan dan kedamaian tetap terjaga.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab sedang keliling malam untuk mengetahui soal-soal rakyat biasa, kebetulan mendengar percakapan sepasang suami istri yang mencurigakan. Beliau terus memanjat pagar dan terlihatlah, mereka itu sedang minum-minum anggur. Beliau bicara kepada yang laki-laki. Orang itu menjawab: ”Wahai Umar, khalifah orang beriman! Saya melanggar aturan Allah satu kali tetapi anda melanggarnya tiga kali. Tuhan berfirman; janganlah mengintip, tapi anda telah mengintip. Tuhan mengatakan; jangan masuk dari pintu belakang atau tidak memberi salam, anda malah masuk memanjat pagar lalu masuk ke sini. Dan lagi Tuhan berfirman; jangan masuk rumah orang sebelum mendapat izin dan memberi salam, tapi anda tidak melakukan itu. Khalifah Umar tidak jadi menghukum orang itu, sekalipun dia bersalah karena buktinya ia peroleh dengan jalan yang tidak dapat diterima. Beliau hanya menyuruh orang itu bertobat dan ini dia lakukan. (Sayyid Quthub)
Dengan jaminan begitulah, Islam memelihara kemerdekaan dan kedamaian pribadi. Siapa melangggar hak-hak ini, segera dihukum, walaupun dia seorang pemimpin atau pejabat.
Al-Ghazali (w 505 H/1111M) mengatakan bahwa cita-cita Islam adalah terwujudnya kedamaian dalam kehidupan manusia. Untuk mewujudkan kedamaian tersebut setiap muslim harus memperhatikan dan menghormati keyakinan agama, perlindungan jiwa, akal, kehormatan, hak milik baik pribadi maupuh maysarakat.
Mengakhiri tulisan ini, kita sebagai umat Islam dan rakyat Indonesia telah mengetahui dan menyadari bahwa perang fisik telah selesai tetapi bangsa ini dijejali dengan perang pemikiran, penjajahan politik dan ekonomi. Oleh karena itu, umat Islam harus senantiasa istiqomah dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada dengan menampilkan kedamaian, mengdepankan toleransi, menciptakan kesejahteraan, jauh dari intrik dan kekerasan. Dengan jalan seperti ini InsyAllah Islam akan tetap eksis sebagai agama rahmatalill’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Amin


Kuningan, 15 Juni 2008
Penulis,


Asep Nurdin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar