MENUMBUHKAN KECERDASAN SPIRITUAL DALAM BEKERJA
Oleh : Asep Nurdin, S.Th.I, M.Pd
(Penyuluh Agama Islam Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan)
Sejak kemunculan sosok Ari Ginanjar Agustian (2001) sebagai pembawa panji ESQ (Emotiononal Spiritual Qoutient), pembicaraan dan pelatihan-pelatihan seputar ESQ terhadap para pegawai/karyawan semakin marak dilakukan. Dengan tujuan agar terbentuk para profesional yang tidak hanya bekerja berlandsakan kecerdasan intelektual (Intellegence Qoutient) dan kecerdasan emosional (Emotional Qoutinet) semata tetapi juga kecerdasan spiritual (Spiritual Qoutient). Karena integritas dan loyalitas akan tumbuh hanya dengan membangun kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual pertama kali digagas secara ilmiah oleh Danah Zohar dan Ia Marshal (2000). Menurut pendapatnya SQ merupakan kecerdasan spiritual untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Menurutnya, SQ berfungsi mengefektifkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi (Ari Ginanjar Agustian : 2006).
Sebagai contoh, Zaid sebagai tukang kebersihan di salah satu kantor pemerintah. Tugas rutinnya adalah menyapu dan membersihkan kantor, dan telah bertahan lebih dari sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SD, maka sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Tetapi walaupun begitu dia bekerja dengan begitu giat, dan tidak banyak tuntutan padahal upah yang diterimanya tidak banyak. Pertanyaannya, kenapa dia mampu bertahan dengan pekerjaannya itu? padahal mungkin saja menurut orang lain pekerjaan itu sangat membosankan. Jawabannya, karena dia mempunyai prinsip bekerja adalah “memberi”, bukan untuk siapapun kecuali lebih pada pengabdiannya kepada Allah.
Dalam bahasa Islam, kecerdasan spiritual tidak jauh berbeda dengan niat atau komitmen. Dan ini sudah ditanamkan oleh Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Di dalam salah satu hadisnya yang terkenal Beliau bersabda : “Setiap perbuatan itu tergantung niatnya”. Artinya bahwa nilai setiap bentuk pekerjaan itu tergantung kepada niat-niat pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridho Allah/ibadah) maka iapun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya ingin memperoleh simpati sesama manusia), maka nilai kerjanya setingkat dengan tujuannya itu (Nurcholis Majid : 1999)
Dengan niat dan komitmen yang tinggi, maka kecerdasan spiritual seorang pegawai akan tampak dalam sikap dan perilakunya. Dia akan berkerja dengan sungguh-sungguh, jujur dan amanah dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Sebaliknya, pegawai yang komitmennya rendah, maka kejujuran dan kepercayaannya juga rendah.
Bang Napi bilang : “Ingat ! kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat dari pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan, waspadalah !”. Artinya sesorang yang mempunyai komitmen rendah (imannya tipis), dia akan melakukan apa saja jika ada kesempatan. Sepertinya para pejabat yang baru dilantik, awalnya mereka bersumpah tidak akan berbuat kejahatan (korupsi misalnya) tetapi ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi yang memungkinkan, mereka lupa akan sumpahnya tersebut.
Sebagai seorang pegawai di lingkungan Departemen Agama, penulis tentu tidak asing dengan kalimat “ikhlas beramal” yang ada dalam lambang Departemen Agama. Ini artinya bahwa pegawai Departemen Agama dalam mengabdi kepada masyarakat dan negara berlandaskan niat beribadah dengan tulus ikhlas (KMA No. 58 Tahun 1979).
Di zaman globalisasi seperti sekarang ini, rasanya sulit mencari orang yang berkerja dengan tulus ikhlas. Perkembangan zaman dan persaingan hidup yang semakin ketat, telah merubah ideologi kerja sebagian besar manusia, yang cenderung ke arah materialisme.
Sebagai contoh, setiap ada bantuan, proyek dan sejenisnya, para pejabat/pegawai lebih dahulu memotong untuk bagiannya, sehingga jumlah yang diberikan tidak sesuai dengan jumlah yang dianggarkan. Ini menunjukan bahwa mereka lebih mengedepankan imbalan materi daripada pekerjaannya. Lebih parahnya lagi, mereka tidak akan bekerja kalau tidak mendapat sesuatu materi dari pekerjaannya itu.
Padahal bekerja dengan “ikhlas” dalam pengertiannya yang luas bukan berarti tanpa imbalan atau penghargaan. Justru karena ikhlas itulah, suatu pekerjaan lebih mempunyai makna atau value (SQ), dan nilai suatu pekerjaan tidak hanya bisa diukur dengan materi.
Dampak negatif jika pegawai berkerja tanpa dibarengi kecerdasan spiritualnya. Dari hal-hal kecil seperti berbohong pada atasan sampai praktek-praktek manipulasi akan dilakukannya. Ini melukiskan bahwa masih banyak kejahatan-kejahatan kecil dilakukan apabila memiliki kesempatan dan tidak terlihat oleh orang lain. Mereka umumnya menganggap bahwa hal itu tidak akan diketahui oleh atasan mereka, serta menganggap pelanggaran-pelanggaran etika tersebut ini adalah hal yang biasa. Padahal ini menyangkut sesuatu yang serius, integritas dan kepercayaan.
Begitu juga dengan para pemimpin. Karena umumnya orang melihat pemimpin sebagai sebuah posisi semata. Akibatnya banyak orang menghalalkan berbagai cara hanya demi mengejar jabatan pemimpin. Dari mulai dari membeli kedudukan dengan uang, menjilat atasan, menyikut pesaing atau teman atau cara-cara lainnya demi mengejar posisi pimpinan. Pemimpin dengan hasil seperti ini akan selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat bahkan menguasai orang lain agar orang lain mengikutinya.
Kalau kita mau jujur, sepertinya hal-hal di atas bukan perkara aneh, makanya tidak heran kalau korupsi seolah-olah telah menjadi “lingkaran setan” yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Menanggapi persoalannya yang satu ini, ungkapan-ungkapan bernada pesimistis sering penulis dengar, seperti “sudah ikutin aja” atau “yang lain aja begitu” dan sebagainya. Ini menunjukan bahwa komitmen kita masih rendah.
Akibatnya, walaupun banyak cara telah dilakukan untuk memberantas penyakit yang satu ini, dari mulai penegakan hukum, sampai pada reformasi sistem birokrasi, hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Karena dilakukan hanya sebatas dataran luarnya saja, sedangkan karakter dan orientasi bekerja pata pegawainya kurang mendapat perhatian.
Saat ini, usaha-usaha ke arah sana mulai dilakukan, hal ini dapat dilihat dari maraknya pelatihan-pelatihan atau pembinaan-pembinaan terhadap para pegawai tentang bagaimana menumbuhkan kecerdasan spiritual dalam bekerja. Ini menunjukan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya makna dan nilai dalam bekerja. Nilai suatu pekerjaan tidak bisa diukur dengan berapa banyak uang yang diperokeh dari hasil pekerjaan tersebut tetapi bagaimana pekerjaan itu bisa mendatangkan kebahagian dan ketenangan bagi para pekerjanya.
Departemen Agama sebagai pelopor spiritual qoutient melalui semboyannya “ikhlas beramal”, insyaAllah akan menjadi departemen yang menjadi tauladan bagi departemen-depatermen lainnya. Jika para pegawainya mampu melaksanakan tugas berlandasakan semboyan tersebut.
Krisis multidimensi yang sedang terjadi di tanah air, sedikit demi sedikit akan berkurang jika kita berkerja bukan hanya atas dasar pengetahuan dan ambisi semata tetapi lebih daripada itu adalah membangun dan memaknai pekerjaan itu sebagai ibadah untuk kepentingan umat manusia dan Allah SWT. Apakah kita mampu? Mari kita coba!
Wallahu a’lam
Kuningan, Maret 2007
Penulis
Asep Nurdin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar